Kebijakan Lahan Abadi untuk Pertanian Sulit Diwujudkan
Kebijakan Lahan Abadi untuk Pertanian Sulit Diwujudkan | Referensi terbaru di 2017 via web Cara Menanam. Rekomendasi konten lengkap terbaik. - Cara Menanam. Artikel ini di beri judul Kebijakan Lahan Abadi untuk Pertanian Sulit Diwujudkan. Konten ini untuk anda pembaca setia https://caramenanamkebun.blogspot.com/. Bagikan juga postingan Kebijakan Lahan Abadi untuk Pertanian Sulit Diwujudkan terbaru ini ke media kalian. Supaya blog seputar Cara Menanam dan website terkait serta kamu mendapat manfaat dari info ulasan Cara Menanam di 2017 ini. Langsung saja baca dan simak mengenai Kebijakan Lahan Abadi untuk Pertanian Sulit Diwujudkan di bawah ini dari situs web Cara Menanam.. . Satu kebijakan yang terakhir yng paling penting pada bagian pembangunan pertanian yng berkaitan yang dengannya permasalahan agraria dalam setahun ini merupakan kebijakan ihwal “lahan abadi” pertanian. Hal ini disampaikan pemerintah menjdai satu dari sekian banyaknya bagian dari Revitalisasi Pertanian, Perikanan, serta Kehutanan (RPPK). Akan tetapi, andai dicermati secara mendalam, ada problem mendasar dibalik itu yng bisa menggagalkan implementasinya di lapangan. Hal yng mendasar yang telah di sebutkan merupakan tak cukup kuatnya dukungan tata perundang-undangan, belum terpadunya penataan ruang secara nasional maupun wilayah, serta lemahnya peran Deptan secara kelembagaan. Mewujudkan kebijakan ihwal lahan tak pernah mati tidak banyak tidak sedikit akan percis yang dengannya sulitnya mengendalikan konversi lahan pertanian ke non pertanian. Meskipun telah tidak sedikit himbauan serta aturan dibuat, akan tetapi konversi lahan tetap terlaksana. Akar permasalahannya merupakan lantaran aspek penggunaan serta pemanfaatan tanah tidak lebih mempunyai landasan yng kuat dalam hukum agraria nasional, dibandingkan yang dengannya aspek penguasaan serta pemilikan tanah. Pembaruan agraria, ataupun adakalanya disebut yang dengannya “Reforma Agraria”, dari asal kata Agrarian Reform, terdiri dari dua pokok permasalahan yakni “penguasaan dan pemilikan” di satu sisi, serta “penggunaan dan pemanfaatan” di sisi lain-lainnya. Kedua sisi yang telah di sebutkan ibarat dua sisi mata uang yng Perlu di lakukan secara seiring. Akan tetapi di sayangkan, sebagian besar pihak lebih-lebih kalangan LSM, lebih tidak sedikit yng tertarik kepada satu sisi saja yakni ihwal “penguasaan dan pemilikan”, ataupun disebut yang dengannya aspek landreform. Di sisi lain, Deptan menjdai departemen teknis misalnya, program serta kebijakannya lebih berkaitan yang dengannya aspek “penggunaan dan pemanfaatan”, yakni bagaimana menghasilkan produktifitas yng setinggi-tingginya pada satu bidang tanah yang dengannya merekayasa segala bentuk input produksi, mulai dari teknologi, kredit bisnis, keterampilan petani, serta lain-lain. Ketidaklengkapan perhatian terhadap konsep pembaruan agraria sudah memberikan hasil yng parsial juga. Itulah mengapa Revolusi Hijau (aspek pengusahaan) yng tak didahului oleh program landreform (aspek penguasaan), cuma mampu mencapai peningkatan produksi serta swasembada, akan tetapi tak dan merta membawa kesejahteraan bagi petaninya. Permasalahan ini akan dibahas dalam goresan pena ini, yng adalah kajian terhadap system hukum serta tata hukum agraria yng cenderung tidak lebih mendukung kepada pembangunan pertanian. Diharapkan goresan pena bisa memberikan berita yng memberikan manfaat menjadikan kebijakan lahan tak pernah mati bisa diwujudkan, tentunya sesudah kendala serta permasalahan bisa ditangani.
UUPA Tidak lebih Mengatur ihwal Aspek Penggunaan Tanah
Secara konseptual, agraria terdiri atas dua aspek utama yng berbeda, yakni aspek “penguasaan dan pemilikan” serta aspek “penggunaan dan pemanfaatan”. Hal ini misalnya terlihat secara tegas dalam batasan ihwal reforma agraria yng terdapat dalam Tap MPR No. IX tahun 2001 Pasal 2, yng menyebutkan bahwasanya: “Pembaruan agraria mencakup suatu proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan sumber daya agraria”. Aspek “penguasaan dan pemilikan” terperinci berbeda yang dengannya aspek “penggunaan dan pemanfaatan”, lantaran yng pertama berkenaan yang dengannya bagaimana hubungan hukum kita-kita yang dengannya tanah, sedangkan yng kedua membicarakan bagaimana tanah (serta sumberdaya agraria lain) dipakai serta dimanfaatkan menjdai sumberdaya ekonomi. UUPA No. 5 tahun 1960, maupun amandemennya yng telah sejak tahun 2003 dimasukkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN), menempatkan aspek penguasaan jauh lebih penting dari aspek penggunaan. Aspek penguasaan ditempatkan pada bab khusus (Bab II) serta mendominasi seluruh isi UUPA, yakni dari pasal 16 hingga yang dengannya pasal 51; padahal batang tubuh UUPA cuma berisi 58 pasal. Selain jumlah pasal yng lebih lebih banyak didominasi, pun timbul kesan bahwasanya “aspek penggunaan” tanah diatur sesudah hak penguasaan dimiliki (seseorang, pemerintah, maupun badan swasta). Hal ini bisa dilihat pada pasal 2 ayat 2, pasal 2A (amandemen), pasal 4 ayat 2, pasal 14 ayat 1, serta pasal 16 ayat 1A (amandemen). Pengertiannya merupakan, bahwasanya aspek kedua berada dalam aspek pertama, ataupun aspek kedua hanyalah bagian dari aspek pertama. Keluarnya produk hukum semisal ini bisa dimengerti, lantaran UUPA No. 5 tahun 1960, lahir di era permasalahan penguasaan tanah menjadi Amat penting, jauh lebih penting dari aspek penggunaan tanah. Suasana politik selama penyusunan UUPA yng disusun selama tujuh tahun, mulai tahun 1953 hingga 1960 (Wiradi, 1984), merupakan bagaimana “merebut” tanah-tanah yng dikuasi pengusaha asing serta pemerintahan kolonial menjadi tanah negara serta rakyat Indonesia. Yang dengannya pola pikir UUPA (serta amandemennya) yng semisal ini bisa dikatakan bahwasanya aturan ini tak menjaga kegiatan pertanian. Lantaran, terbaca yang dengannya terperinci, bahwasanya seseorang bebas bagi atau bisa juga dikatakan untuk mengolah, mempergunakan, serta mempergunakan serta memanfaatkan tanahnya; sesudah hubungan hukumnya yang dengannya tanah yang telah di sebutkan terperinci. Yang dengannya kondisi ini, maka banyak sekali UU serta aturan lain yng dibuat pemerintah, yng secara hierarki berada di bawah kedudukan UUPA, tak akan mampu merubah paradigma yang telah di sebutkan. Beberapa akibat serta implikasi yng terlihat selama ini dari paradigma berpikir UUPA yang telah di sebutkan di antaranya merupakan:
(1) Pemerintah tak bisa mengontrol konversi lahan-lahan pertanian ke non pertanian. Aneka macam Inpres serta Perda yng dikeluarkan berkenaan yang dengannya konversi lahan bisa dikatakan “tidak bergigi”. Malah mungkin juga bisa dikatakan bahwasanya Inpres serta Perda yang telah di sebutkan sebenarnya tak konsisten yang dengannya UUPA. (2) Kebijakan pencadangan lahan tak pernah mati pertanian yng dicetuskan dalam RPPK, yakni 15 juta ha lahan basah ditambah 15 juta ha lahan kering, sebenarnya pun akan sulit direalisasikan. Penyebabnya merupakan lantaran aturan yng ada, lebih-lebih UUPA menjdai hukum pokok agraria, tak cukup memberi jaminan kebijakan yang telah di sebutkan. (3) Lemahnya pengaturan dalam “aspek penggunaan“ yang telah di sebutkan, secara tak langsung pun berdampak terhadap lemahnya pengaturan tata ruang serta kelangsungan ekosistem secara keseluruhan. Sebidang lahan yng sebenarnya Perlu berupa hutan, bisa saja diolah menjadi lahan pertanian intensif, lantaran hak pihak yng menguasainya dijamin secara hukum.
Kewenangan Deptan Lemah terhadap Aspek Penggunaan serta Pemanfaatan Lahan
Khusus bagi atau bisa juga dikatakan untuk Departemen Pertanian, tugas yng diembannya berkaitan erat yang dengannya “cuma” pada aspek kedua, yakni bagaimana sepetak tanah sebaiknya diolah, ditanami, dipupuk, serta dipelihara tanamannya; menjadikan menghasilkan produksi pertanian. Hal ini selaras yang dengannya sub-sub organisasi dalam Deptan yng terdiri dari bagian yng mengurusi teknologi pertanian, menyediakan modal, menyediakan prasarana, mikirin pemasarannya, serta lain-lain. Jadi, yang dengannya fokus Deptan yng cuma dibatasi pada aspek kedua (penggunaan serta pemanfaatan tanah), sedangkan hal ini tak dijamin cukup kuat secara hukum, lebih-lebih aturan dasarnya (yakni UUPA); maka bisa dikatakan bahwasanya memanglah kegiatan pertanian tidak lebih terjamin di negara ini. Menyerahkan kegiatan pertanian, produksi pertanian, serta ketahanan pangan, cuma kepada mekanisme pasar terbukti sudah memicu pertanian menjdai sektor yng kalah. Nilai ekonomi lahan (serta pun air) yng dipakai bagi atau bisa juga dikatakan untuk kegiatan pertanian seringkali kalah andai lahan (serta air) yang telah di sebutkan dipakai bagi atau bisa juga dikatakan untuk kepentingan lain misalnya bagi atau bisa juga dikatakan untuk rumah, industri, pariwisata, serta lain-lain (Husodo, 2005). Pengertiannya, Deptan cuma mempunyai otoritas (meskipun dibatasi) pada aspek non-landreform. Disaat aspek landreform masih tinggal menjadi wacana, Deptan (serta jajarannya) sulit bagi atau bisa juga dikatakan untuk dituntut melakukan pembaruan agraria secara utuh. Pengertiannya, Deptan menjalankan “Pembaruan Agraria tanpa Landreform”. Sebaliknya, disaat landreform sukses diimplementasikan, maka aspek-aspek non-landreform pun Perlu disiapkan. Distribusi tanah akan menjadi program yng percuma andai infrastruktur serta kelembagaan pendukung pertanian tak disediakan. Di Sukabumi misalnya, tidak sedikit petani yng mendapatkan lahan dari kebun-kebun swasta yng sebagiannya didistribusikan ke masyarakat sekitar, bahkan menjualnya kepada orang kota lantaran orang-orang tak mampu mengusahakannya; baik lantaran infrastruktur yng lemah, ketiadaan modal, maupun lantaran mental berusahatani yng lemah (Sumaryanto et al., 2002). “Aspek landreform” bisa dimaknai menjdai penataan ulang penguasaan serta pemilikan tanah, dimana faktor pembentuknya merupakan masalah hukum (negara serta norma), tekanan demografis, dan struktur ekonomi setempat misalnya ketersediaan lapangan kerja non-pertanian. Masalah yng dihadapi pada aspek ini merupakan konflik penguasaan/pemilikan secara vertikal serta horizontal, inkosistensi hukum (misalnya antara UUPA serta “turunannya”), ketimpangan penguasaan serta pemilikan, penguasaan yng sempit oleh petani menjadikan tak ekonomis, dan ketidaklengkapan serta inkosistensi data. Aktifitas reforma agraria yng relevan pada aspek landreform ini misalnya merupakan penetapan objek tanah landreform, penetapan petani penerima, penetapan harga tanah serta cara pembayaran, pendistribusian tanah kepada penerima, perbaikan penguasaan (misalnya perbaikan system penyakapan), dan penertiban tanah guntay (absentee). Sementara pada “aspek non-landreform” yng didefinisikan menjdai penataan ulang penggunaan serta pemanfaatan tanah, faktor-faktor pembentuknya merupakan faktor geografi, topografi tanah, kesuburan tanah, ketersediaan infrastruktur, kondisi ekonomi lokal serta global, tekanan demografis, ketersediaan teknologi, ketersediaan modal usahatani, dan insentif dari bisnis pertanian. Permasalahan yng dihadapi saat ini dari aspek ini di antaranya merupakan kesuburan lahan yng rendah, degradasi tanah akibat pemanfaatan berlebihan ataupun lantaran ketidaktepatan secara teknis, serta konflik penggunaan/pemanfaatan secara vertikal serta horizontal. Aktifitas pembaruan agrarian yng relevan merupakan banyak sekali bentuk pengelolaan serta pengusahaan tanah secara tepat serta efisien, pembangunan infrastruktur, peningkatan produktifitas tanah yang dengannya penerapan teknologi, perbaikan system pajak tanah, pemberian kredit usahatani, penyuluhan, penyediaan pasar komoditas pertanian, dan pengembangan keorganisasian petani.
Seni manajemen serta Kebijakan Pendayagunaan Sumberdaya Lahan dalam RPPK
Dalam dokumen RPPK terbaca, bahwasanya secara umum, sektor pertanian dihadapkan kepada sempitnya penguasaan lahan per petani dimana tidak sedikit petani gurem (<0,5 ha/keluarga), cepatnya konversi lahan pertanian menjadi non-pertanian serta tak amannya status penguasaan lahan (land tenure). Di sisi lain, terdapat sekitar 32 juta ha lahan yng sesuai serta berpotensi dijadikan lahan pertanian. Oleh lantaran itu, dalam revitalisasi pertanian ditempuh beberapa taktik berkenaan yang dengannya ini, yakni berupa kewajiban kompensasi bagi atau bisa juga dikatakan untuk pihak yng melakukan konversi lahan sawah serta pembukaan lahan pertanian baru, bersamaan yang dengannya penciptaan suasana yng kondusif bagi atau bisa juga dikatakan untuk agroindustri pedesaan agar tekanan tenaga kerja terhadap lahan berkurang. Dari luas daratan Indonesia sekitar 190 juta ha, terdapat sekitar 101 juta ha lahan yng sesuai bagi atau bisa juga dikatakan untuk pertanian tanpa mengganggu keseimbangan ekologis daerah peredaran sungai, sedangkan yng telah dijadikan lahan pertanian baru sekitar 64 juta ha. Yang dengannya demikian masih terbuka kesempatan bagi atau bisa juga dikatakan untuk perluasan pertanian, akan tetapi memerlukan upaya keagrariaan, sosial-ekonomi serta teknis, mengingat lahan yang telah di sebutkan diklaim menjdai daerah hutan, HGU, milik norma, ataupun milik pribadi. Program pembukaan lahan pertanian dalam lima tahun ke depan diarahkan melalui: (a) pemanfaatan lahan terlantar (lahan alang-alang serta semak belukar) di 13 propinsi, (b) pengendalian konversi lahan sawah, (c) perluasan areal sawah di luar Pulau Jawa, (d) perluasan areal pertanian lahan kering, (e) peningkatan luas penguasaan lahan pertanian melalui pendekatan keagrariaan, serta (f) penguatan kelembagaan yng kondusif bagi atau bisa juga dikatakan untuk menunjang agroindustri pedesaan. Pemanfaatan lahan terlantar, berupa lahan alang-alang serta semak belukar, di lakukan pada 13 propinsi yng diprioritaskan pada wilayah yang dengannya kendala minimum. Lahan ini Amat berpeluang dikembangkan baik bagi atau bisa juga dikatakan untuk tanaman semusim maupun tahunan, lebih-lebih di daerah transmigrasi dimana infrastruktur cukup baik serta tenaga kerja tersedia. Konversi lahan sawah ke non pertanian yng saat ini total 110.000 ha per tahun (antara 1999-2002), diharapkan bisa diturunkan menjadi 10.000 ha/tahun mulai tahun 2009, serta secara bertahap mendekati nol. Lahan sawah irigasi yng ada saat ini ini, butuh dipertahankan keberadaannya lantaran sawah yang telah di sebutkan sudah menghabiskan investasi yng besar dalam pencetakan serta pembangunan jaringan irigasinya. Pengendalian konversi lahan sawah diprogramkan melalui penetapan serta pemberlakuan aturan perundang-undangan. Aturan yang telah di sebutkan Perlu menjelaskan sanksi yng tegas bagi pelanggarnya, lebih-lebih ditujukan bagi atau bisa juga dikatakan untuk pengembang, instansi pemerintah dan swasta. Aturan yang telah di sebutkan antara lain butuh memuat diktum bahwasanya bagi setiap pengembang yng akan mengkonversi lahan sawah, diharuskan berlebi dahulu mencetak lahan sawah seluas tiga kali luas lahan sawah yng dikonversi, lengkap yang dengannya sarana irigasi serta sarana penunjang lain-lainnya. Pelaksanaan aturan yang telah di sebutkan didasarkan atas peta Lahan Sawah Utama yng telah mencakup pulau Jawa, Bali serta Lombok. Selain pemanfaatan lahan terlantar serta pengendalian konversi lahan, perluasan areal sawah serta lahan kering akan diarahkan lebih-lebih ke luar Jawa. Dari sisi hukum, tanah negara yng berpotensi bagi atau bisa juga dikatakan untuk perluasan pertanian, lebih-lebih yng hutannya telah dibuka serta telah dipakai selama lebih dari 20 tahun oleh penduduk setempat, butuh diatur sertifikasi hak guna bisnis jangka menengah (10 tahun) serta jangka panjang (30 tahun) bagi atau bisa juga dikatakan untuk merangsang pengembangan agroindustri pedesaan. Sertifikasi hak guna tanah ini bisa diperpanjang serta diwariskan kepada keturunannya, andaikan lahan dikelola secara baik serta ramah lingkungan. Era ini, telah ada 4,5 juta ha lahan yng diberikan HGU oleh pemerintah, yng setengahnya berada di Pulau Sumatera.
Kebijakan Lahan Kekal Pertanian dalam RPPK serta Kendalanya Khusus bagi atau bisa juga dikatakan untuk kebijakan “lahan abadi”, pemerintah sudah menargetkan 30 juta hektar lahan tak pernah mati bagi atau bisa juga dikatakan untuk pertanian, yng tak boleh berpindah fungsi, akan tetapi bisa berganti kepemilikan. Lahan ini akan dibagi menjadi dua, yaitu 15 juta hektar adalah sawah beririgasi, serta 15 juta hektar adalah lahan kering. Lahan yang telah di sebutkan tersebar di seluruh Indonesia yang dengannya tujuan bagi atau bisa juga dikatakan untuk melindungi ketersediaan pangan nasional. Dari sisi perencanaan tata ruang nasional, “lahan abadi” adalah hal yng baru, serta belum pernah dimasukkan dalam kebijakan tata ruang manapun, baik di tingkat nasional maupun daerah. Lantaran itu, mekanisme penetapan lahan tak pernah mati ini berpedoman kepada penentuan Rancangan Umum Tata Ruang (RUTR) suatu wilayah. Sesudah disepakati dalam RUTR, maka lahan yng diperuntukkan menjdai “lahan abadi” yang telah di sebutkan tak boleh berganti pemanfaatannya. Sebagian pihak berpendapat bahwasanya semestinya implementasi lahan tak pernah mati ini Perlu dituangkan dalam aturan tersendiri. Satu hal yng pasti, agar lahan tak pernah mati menjadi bagian dari RUTR nasional, maka RUTR yng telah ada saat ini ini butuh direvisi. Hal ini tentu saja butuh upaya hukum serta kelembagaan yng serius serta tak akan bisa diwujudkan dalam jangka pendek.
Kebijakan lahan tak pernah mati berpotensi bagi atau bisa juga dikatakan untuk berbenturan yang dengannya banyak sekali aturan serta kebijakan agraria yng sudah ada sebelumya. Di antaranya merupakan yang dengannya Aturan Presiden No. 36 tahun 2005 ihwal Pembebasan Lahan bagi atau bisa juga dikatakan untuk Kepentingan Umum (Kompas, 2005). Semangat yng ada pada kedua kebijakan ini cenderung tak sejalan. Pada kebijakan lahan tak pernah mati, sebidang lahan tak boleh dipakai selain bagi atau bisa juga dikatakan untuk pertanian, sedangkan Perpres 36 tahun 2005 bisa merubahnya sepanjang bagi atau bisa juga dikatakan untuk kepentingan umum. Penetapan lahan pertanian tak pernah mati mempersulit berubahnya fungsi lahan pertanian bagi atau bisa juga dikatakan untuk peruntukan lain. Padahal presiden telah membuat aturan ihwal pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan bagi atau bisa juga dikatakan untuk kepentingan umum, yng intinya mempermudah pelepasan tanah bagi atau bisa juga dikatakan untuk kepentingan umum, yaitu mampu pasar, jalan, serta sebagainya. Lokasi yng ditetapkan menjdai lahan pertanian tak pernah mati pun Perlu diputuskan secara cermat menjadikan tujuan bagi atau bisa juga dikatakan untuk menyejahterakan petani serta melindungi ketahanan pangan nasional tercapai tanpa berbenturan yang dengannya kepentingan lain. Selain itu, yang dengannya berlakunya otonomi daerah, maka pengelolaan sumberdaya lahan menjadi kendali langsung pemerintah daerah (Republika, 2005). Disinilah butuh diantisipasi lantaran persepsi pentingnya sumberdaya lahan bagi atau bisa juga dikatakan untuk penyediaan pangan nasional Amat berbeda antara pemerintah kabupaten. Apalagi yang dengannya tuntutan peningkatan Pendapat Asli Daerah, maka mungkin saja lahan-lahan produktif di daerah bisa menjadi korban (dikonversi ke nonpertanian) demi pembangunan. Oleh lantaran itu, yng lebih penting dalam pengelolaan lahan ini merupakan komitmen bersama dari para pengambil kebijakan lebih-lebih di daerah, serta lebih penting lagi lantaran pengelolaan lahan pertanian tak mampu terbatas oleh wilayah administratif namun adalah suatu pengelolaan suatu daerah ekosistem. Pengelolaan sumberdaya lahan Perlu diamankan melalui perangkat hukum apakah itu dalam bentuk undang-undang ataupun aturan pemerintah yng senantiasa memihak kepada kepentingan petani. Pada intinya, akan cukup tidak sedikit UU serta aturan lain yng sudah ada selama ini berkaitan yang dengannya pemanfaatan sumber daya alam (tanah serta air) yng butuh dikaji ulang agar tak kontra produktif yang dengannya konsep RPPK itu sendiri. Semisal kasus undang-undang ihwal pemanfaatan serta pengelolaan air yng tidak sedikit mendapatkan kritik. Kebutuhan serta Ketersediaan Sumber Daya lahan di Indonesia Bagaimanapun, Indonesia butuh berusaha semaksimal mungkin mencukupi kebutuhan pangannya secara mampu berdiri diatas kaki sendiri. Hal ini mengingat besarnya jumlah penduduk, dihadapkan yang dengannya tersedianya lahan pertanian yng cukup luas. Di sisi lain, tenaga kerja pertanian kita pun cukup tidak sedikit. Pada prinsipnya, kita Perlu mampu berdiri diatas kaki sendiri pada bagian pangan. Kemandirian pada bagian pangan lebih dari sekadar swasembada, lantaran memuat juga nuansa politik serta harga diri menjdai sebuah bangsa (Husodo, 2005). Dalam konteks kemandirian pangan, pemerintah sudah menjadikan 5 komoditas menjdai komoditas pokok, yakni beras, jagung, kedelai, gula, serta daging sapi. Seluruh komoditas kecuali peternakan sapi tergolong tinggi ketergantungannya kepada kebutuhan lahan, ataupun disebut menjdai land based agriculture . Andai Indonesia ingin berswasembada bagi atau bisa juga dikatakan untuk keempat jenis pangan yang telah di sebutkan, maka bagi atau bisa juga dikatakan untuk era ini saja dibutuhkan lahan seluas 32,76 juta ha. Lahan yang telah di sebutkan bisa berupa lahan sawah maupun lahan kering, akan tetapi memenuhi syarat bagi atau bisa juga dikatakan untuk penanaman tanaman semusim semisal halnya jagung serta kedelai. Pendapat dari data di Badan Pertanahan Nasional (Kepala BPN, 2001), didasari zone ekonomi pribadi, Indonesia mencakup teritorial seluas 800 juta ha. Dari luasan ini sebagian terbesar yakni 609 juta ha (76%) adalah perairan serta sisanya 191 juta ha (24%) berupa daratan. Sementara pendapat dari Puslitbangtanak (2002), luas daratan Indonesia lebih rendah tidak banyak dari itu, yakni cuma 188,2 juta ha. Dalam konteks bisnis budidaya, maka satu dari sekian banyaknya aspek yng Perlu dijadikan landasan merupakan batasan minimal yng Perlu tetap menjadi areal konservasi, bagi atau bisa juga dikatakan untuk melindungi daya dukung lahan serta prinsip sustainabilitas ekosistem pada biasanya. Maka, sesuai yang dengannya kaidah kepatutan penggunaan tanah (Rencana Tata Ruang Wilayah), dari 191 juta ha daratan, 67 juta ha (35%) Perlu dipakai menjdai daerah lindung serta sisanya seluas 123 juta ha (65%) bisa dipakai bagi atau bisa juga dikatakan untuk areal budidaya. Sesuai yang dengannya fungsinya serta kepatutan penggunaannya, maka daerah lindung mestilah berupa hutan, sedangkan daerah budidaya bisa dipakai bagi atau bisa juga dikatakan untuk penggunaan non-hutan, yakni bagi atau bisa juga dikatakan untuk pertanian serta non-pertanian (perumahan, industri, serta lain-lain). Akan tetapi, hasil rekapitulasi oleh BPN menunjukan bahwasanya daerah lindung yng seharusnya berupa hutan tak seluruhnya berupa hutan. Dari 67 juta ha daerah lindung, 12 juta ha (18%) sudah dipakai berupa bukan hutan lebih-lebih di Wilayah Jawa serta Bali. Sebaliknya pada daerah budidaya, 71 juta ha (58%) masih berupa hutan, lebih-lebih di wilayah Sumatera, Kalimantan serta Irian Jaya. Wilayah ini dia yng bisa dijadikan areal pertanian. Berbeda yang dengannya data BPN, pendapat dari Puslitbangtanak (2002), didasari kondisi biofisik lahan (fisiografi, bentuk wilayah, lereng, iklim), lahan yng sesuai bagi atau bisa juga dikatakan untuk pertanian bukan 123,4 akan tetapi cuma seluas 100,7 juta ha. Hal ini relatif percis yang dengannya dokumen RPPK, dimana luas lahan yng bisa dijadikan pertanian merupakan seluas 100,8 juta ha. Dari seluruh lahan ini, 24,5 juta ha di antaranya sesuai bagi atau bisa juga dikatakan untuk lahan basah (sawah); 25,3 juta ha sesuai bagi atau bisa juga dikatakan untuk lahan kering tanaman semusim; serta 50,9 juta ha sesuai bagi atau bisa juga dikatakan untuk lahan kering tanaman tahunan. Andai dihubungkan yang dengannya kebutuhan lahan sawah bagi atau bisa juga dikatakan untuk ditanami padi, maka areal seluas 24,5 juta ha telah memadai bagi atau bisa juga dikatakan untuk berswasembada, lantaran yng diharapkan lebih tidak lebih cuma 10 juta ha, apalagi andai teknologi usahatani bisa diperbaiki. Bagi atau bisa juga dikatakan untuk kondisi penggunaan ataupun tata guna lahan era ini, ditemui data yng beragam. Pendapat dari Puslitbangtanak (2002), dari 24,5 juta ha lahan yng sesuai bagi atau bisa juga dikatakan untuk lahan basah, 8,5 juta ha di antaranya telah dipakai bagi atau bisa juga dikatakan untuk lahan sawah. Akan tetapi lantaran adanya konversi (alih guna) lahan sawah, maka luas lahan sawah baku pada tahun 2002 sekitar 7,8 juta ha. Total areal pertanian di Indonesia era ini merupakan 36,3 juta ha, meliputi sawah, tegalan, pekarangan, maupun perkebunan (rakyat serta swasta besar). Andai disandingkan yang dengannya daerah yng bisa dijadikan menjdai pertanian (123,4 juta ha), maka masih ada 87,1 juta ha areal yng era ini belum dijadikan wilayah pertanian. Lebih jauh dalam dokumen RPPK terbaca, bahwasanya lahan yng potensial bagi atau bisa juga dikatakan untuk perluasan areal tanaman pangan telah tak tersedia (potensi ekstensifikasi negatif), lantaran telah dipakai bagi atau bisa juga dikatakan untuk tegalan, perkebunan, serta sebagian lagi berupa lahan terlantar. Yang dengannya demikian, pengembangan areal tanaman pangan cuma bisa di lakukan pada lahan terlantar. Dalam dokumen yang telah di sebutkan pun didapati bahwasanya kita masih mempunyai potensi lahan bagi atau bisa juga dikatakan untuk pertanian sebesar 100,8 juta hektar. Dari luasan ini, sudah dimanfaatkan 68,8 juta hektar, menjadikan lahan yng belum dimanfaatkan sekitar 32 juta hektar. Selain itu, terdapat potensi lahan bagi atau bisa juga dikatakan untuk bisnis pertanian berupa lahan terlantar 11,5 juta hektar dan pekarangan 5,4 juta hektar. Khusus bagi atau bisa juga dikatakan untuk Jawa, pemanfaatan lahan telah melampui ketersediaannya (over utilization). Selain over utilization, lahan di Jawa mengalami pengurangan akibat konversi ke penggunaan non pertanian yang dengannya laju yng semakin tinggi. Pada periode tahun 1981-1999 terlaksana konversi lahan sawah ke penggunaan non-pertanian seluas 1.627.514 hektar; serta sekitar 1 juta hektar di antaranya terlaksana di Jawa. Lantaran tingkat kesuburan lahan di Jawa jauh lebih tinggi dibanding di luar Jawa serta kondisi infrastruktur yng pun lebih mapan, maka dalam jangka panjang lahan-lahan produktif di Jawa semisal lahan sawah tetap butuh dipertahankan menjdai lahan pertanian. Kondisi lahan di Jawa makin memprihatinkan lantaran penguasaan lahan oleh petani yng sempit tak mampu mencapai skala bisnis yng ekonomis, menjadikan bisnis pertanian di Jawa menghadapi ancaman stagnasi. Luas areal yng masih berupa hutan di Jawa era ini cuma bersisa 3,3 juta ha. Di sisi lain, terdapat lahan kritis yng Amat memprihatinkan, yakni 10,7 juta ha ataupun 84,2 % dari luas wilayahnya (Kompas, 2003). Satu dari sekian banyaknya potensi yng sampat era ini tidak lebih diperhatikan merupakan keberadaan lahan rawa. Luas lahan rawa pasang surut di Indonesia lebih dari 33,4 juta ha, yng tersebar dibanyak propinsi, akan tetapi yng terbesar ada di wilayah Kalimantan (8,13 juta ha), Sumatera (6,6 juta ha), Papua (4,2 juta ha), serta Sulawesi (1,2 juta ha). Yang dengannya teknologi yng ada, petani sudah mampu menghasilkan 3-4 ton padi per ha. Akan tetapi yang dengannya peningkatan teknologi, yakni pada skala penelitian, sudah mampu diperoleh 7-8 ton gabah per ha. Selain bagi atau bisa juga dikatakan untuk padi sawah, lahan rawa pun sesuai bagi atau bisa juga dikatakan untuk palawija yakni jagung serta kedelai. Ketaksiapan System Hukum serta Kelembagaan Penataan Ruang
Lahan tak pernah mati pertanian adalah konsep agraria yng berkenaan yang dengannya aspek penggunaan serta pemanfaatan lahan. Bagi atau bisa juga dikatakan untuk mewujudkan kebijakan ini, maka Amat erat kaitannya yang dengannya kebijakan ihwal tata ruang wilayah. Penataan ruang merupakan proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang serta pengendalian pemanfaatan ruang (Pasal 1 ayat 3, UUTR No. 24 tahun 1992). Tujuannya merupakan agar (a) terselenggaranya pemanfaatan ruang berwawasan lingkungan yng berlandaskan Wawasan Nusantara serta Ketahanan Nasional, (b) terselenggaranya pengaturan pemanfaatan ruang daerah lindung serta daerah budidaya, serta (c) tercapainya pemanfaatan ruang yng mempunyai kualitas. Pada masa orde baru, pembinaan tata ruang di lakukan melalui banyak sekali kegiatan, yakni (Sangaji,1999): (1) tata guna tanah, berupa pemetaan penggunaan tanah serta kemampuan tanah, (2) tata kota serta daerah, yaitu penyusunan rencana pengembangan kota serta daerah, serta (3) tata agraria, yaitu pendaftaran, penertiban, dan pengawasan hak-hak atas tanah. Ke hidup-an yng mempunyai kualitas yng dituju dalam kebijakan penataan ruang, sebagaimana terdapat dalam Pasal 5, merupakan berupa: (1) terwujudnya ke hidup-an bangsa yng cerdas, berbudi luhur serta sejahtera, (2) terwujudnya keterpaduan serta penggunaan sumberdaya alam serta sumberdaya buatan yang dengannya memperhatikan sumberdaya kita-kita, (3) meningkatnya pemanfaatan sumberdaya alam serta sumberdaya buatan secara berdaya guna, sukses guna, serta tepat guna bagi atau bisa juga dikatakan untuk menaikan kualitas sumberdaya kita-kita, (4) terwujudnya perlindungan fungsi ruang serta mencegah dan menanggulangi dampak negatif terhadap lingkungan, dan (5) terwujudnya keseimbangan kepentingan kesejahteraan serta keamanan. Di dalam UU No. 24 Tahun 1992 ihwal Penataan Ruang ditentukan bahwasanya penataan ruang diatur secara terpusat yang dengannya UU (Pasal 9), dan secara hierarkhis ataupun berjenjang. Pendekatan yng top down semisal ini dipandang menjdai pendekatan yng akan lebih memberi jaminan keutuhan serta konsistensi system tata ruang secara nasional. Secara bertahap akhirnya bisa disusun Tata Ruang wilayah baik secara nasional, propinsi, kabupaten, kota serta tata ruang wilayah. Yang dengannya dasar UU No 24 tahun 1992 sudah disusun Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional ataupun Seni manajemen Nasional Pengembangan Pola Tata Ruang (SNPPTR). Hal ini lalu menjadi dasar bagi atau bisa juga dikatakan untuk Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) propinsi daerah tingkat I, serta RTRW kebupaten ataupun daerah tingkat II. Yang dengannya adanya kebijakan Otonomi Daerah, maka alur yng topdown yang telah di sebutkan menjadi terbalik prosesnya. Daerah tingkat II justeru menjadi titik tolak struktur tata ruang, yng lantas menjadi bahan bagi atau bisa juga dikatakan untuk penetapan tata ruang propinsi serta nasional. Lebih jauh, melalui Keppres no 57 tahun 1989 sudah dibentuk tim Koordinasi Pengelolaan Tata Ruang Nasional. Keberadaan tim ini mulai tahun 1993 berganti menjadi Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional (BKTRN) didasari Keppres no 75 tahun 1993. Terlihat bahwasanya sudah cukup tidak sedikit produk hukum yng diperoleh pemerintah bagi atau bisa juga dikatakan untuk menyusun tata ruang agar kebutuhan pembangunan serta sektor-sektor bisa dipenuhi. Akan tetapi demikian, permasalahan tata ruang di Indonesia masih adalah masalah besar yng belum selesai, serta bisa dikatakan masih “carut marut” (Sangaji, 1999). Selaras yang dengannya itu, Budiharjo (1995), menyatakan bahwasanya terdapat beberapa issue permasalahan ihwal tata ruang di Indonesia, lebih-lebih masalah ketepatan perencanaan. Terdapat keseringan bahwasanya tata ruang disusun sendiri-sendiri, baik secara vertikal maupun horizontal; menjadikan era ini tak mampu disebutkan yang dengannya pasti siapa sebenarnya yng mempunyai kewenangan penuh dalam menyusun tata ruang. Setiap instansi seolah berjalan sendiri yang dengannya konsep serta rencananya, menjadikan terlaksana tumpang tindih. Selain itu, tata ruang yng disusun selalu berubah-ubah menjadikan bersifat temporal, serta pun tak terbuka (transparan) kepada seluruh masyarakat.
Kesimpulan serta Saran Kebijakan
Dari uraian di atas terlihat bahwasanya, rencana bagi atau bisa juga dikatakan untuk mewujudkan “lahan abadi pertanian” menghadapi banyak sekali kendala baik dari sisi hukum, kelembagaan, maupun ketersediaan data serta berita. Selengkapnya, setidaknya ada lima permasalahan yng menghadang bagi atau bisa juga dikatakan untuk mewujudkan “lahan abadi” pertanian, yakni: Pertama, secara paradigmatis system hukum agraria kita (UUPA No. 5 tahun 1960) menempatkan “aspek penggunaan dan pemanfaatan tanah” ataupun bagaimana sebidang akan dipakai lebih lemah daripada pengaturan “aspek penguasaan dan pemilikan”. Ini adalah akar permasalahan mengapa pengaturan tata ruang yng terpadu serta tegas Amat sulit diwujudkan, lantaran disaat sebidang tanah sudah dikuasai satu pihak, maka ia mempunyai kewenangan bagi atau bisa juga dikatakan untuk mempergunakannya sesuai keinginannya. Kedua, kebijakan lahan tak pernah mati mempunyai ketidakselarasan yang dengannya beberapa kebijakan serta produk hukum lain, misalnya yang dengannya Perpres No. 36 tahun 2005 ihwal Penggunaan Tanah bagi atau bisa juga dikatakan untuk Kepentingan Umum; serta yang dengannya semangat otonomi daerah. Ketiga, “lahan abadi” pertanian cuma bisa diwujudkan andaikan perencanaan tata ruang baik secara nasional maupun wilayah sudah disepakati. Akan tetapi hingga era ini, konsep tata ruang serta kebijakan ihwal tata ruang di Indonesia belum mempunyai kebijakan yng konsisten, serta cenderung tumpang tindih (secara vertikal maupun horizontal). Keempat, secara keorganisasian dalam struktur pemerintahan, tugas serta program yng Perlu dijalankan Deptan Amat erat kaitannya yang dengannya “aspek penggunaan dan pemanfaatan tanah”, padahal Deptan tak mempunyai otoritas yng cukup bagi atau bisa juga dikatakan untuk itu. Lantaran itu, bagi atau bisa juga dikatakan untuk mewujudkan kebijakan lahan tak pernah mati, Deptan butuh dukungan lembaga pemerintah lain di luar Deptan. Kelima, dari sisi pemetaan penggunaan serta kemampuan lahan, ketersediaan data serta berita era ini belum memadai bagi atau bisa juga dikatakan untuk merumuskan serta memetakan “lahan abadi” dimaksud dalam waktu dekat. Bertolak dari kondisi ini, maka dasar hukum tampaknya Perlu menjadi basis pokok bagi atau bisa juga dikatakan untuk bisa mewujudkan kebijakan lahan tak pernah mati, lantaran permasalahan yng dihadapi tidak sedikit berkenaan yang dengannya hukum serta kebijakan. Kebijakan lahan tak pernah mati mestilah berdiri di atas satu dukungan hukum yng kuat setingkat undang-undang. Secara prinsip, sektor pertanian memanglah butuh “Undang-Undang Pertanian” menjadikan seluruh kebijakan bisa direalisasikan. Lantaran belum mempunyai UU Pertanian, maka kita sulit misalnya bagi atau bisa juga dikatakan untuk mengendalikan konversi lahan, tak bisa menjaga petani serta komoditas pertanian, sulit menuntut anggaran yng memadai (selama ini anggaran Deptan lebih tidak lebih cuma 1 % dari APBN), dan tak bisa mempertahankan kelembagaan penyuluhan. Selain itu, kita pun tak akan bisa mewujudkan kebijakan lahan tak pernah mati.
Selain problem kebijakan lahan tak pernah mati, sebenarnya tidak sedikit hal ihwal keagrariaan yng akan bisa diselesaikan andaikan kita mempunyai UU Pertanian. Di antaranya merupakan batasan maksimal serta minimal kepemilikan lahan perorangan serta badan bisnis. Selain itu, andapun bisa mengendalikan konversi lahan pertanian misalnya yang dengannya menerapkan kebijakan ihwal pajak tanah yng tinggi bagi atau bisa juga dikatakan untuk penggunaan di luar pertanian, yakni pada wilayah-wilayah yng sudah diperuntukkan bagi lahan pertanian.
Penulis : Dr. Syahyuti Peneliti Pada Pusat Analisis Sosial Ekonomi serta Kebijakan Pertanianlan. A. Yani No. 70 Bogor. 16161
Sponsored Links loading... Loading... .
Source Articles & Image : petanitop.blogspot.com
UUPA Tidak lebih Mengatur ihwal Aspek Penggunaan Tanah
Secara konseptual, agraria terdiri atas dua aspek utama yng berbeda, yakni aspek “penguasaan dan pemilikan” serta aspek “penggunaan dan pemanfaatan”. Hal ini misalnya terlihat secara tegas dalam batasan ihwal reforma agraria yng terdapat dalam Tap MPR No. IX tahun 2001 Pasal 2, yng menyebutkan bahwasanya: “Pembaruan agraria mencakup suatu proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan sumber daya agraria”. Aspek “penguasaan dan pemilikan” terperinci berbeda yang dengannya aspek “penggunaan dan pemanfaatan”, lantaran yng pertama berkenaan yang dengannya bagaimana hubungan hukum kita-kita yang dengannya tanah, sedangkan yng kedua membicarakan bagaimana tanah (serta sumberdaya agraria lain) dipakai serta dimanfaatkan menjdai sumberdaya ekonomi. UUPA No. 5 tahun 1960, maupun amandemennya yng telah sejak tahun 2003 dimasukkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN), menempatkan aspek penguasaan jauh lebih penting dari aspek penggunaan. Aspek penguasaan ditempatkan pada bab khusus (Bab II) serta mendominasi seluruh isi UUPA, yakni dari pasal 16 hingga yang dengannya pasal 51; padahal batang tubuh UUPA cuma berisi 58 pasal. Selain jumlah pasal yng lebih lebih banyak didominasi, pun timbul kesan bahwasanya “aspek penggunaan” tanah diatur sesudah hak penguasaan dimiliki (seseorang, pemerintah, maupun badan swasta). Hal ini bisa dilihat pada pasal 2 ayat 2, pasal 2A (amandemen), pasal 4 ayat 2, pasal 14 ayat 1, serta pasal 16 ayat 1A (amandemen). Pengertiannya merupakan, bahwasanya aspek kedua berada dalam aspek pertama, ataupun aspek kedua hanyalah bagian dari aspek pertama. Keluarnya produk hukum semisal ini bisa dimengerti, lantaran UUPA No. 5 tahun 1960, lahir di era permasalahan penguasaan tanah menjadi Amat penting, jauh lebih penting dari aspek penggunaan tanah. Suasana politik selama penyusunan UUPA yng disusun selama tujuh tahun, mulai tahun 1953 hingga 1960 (Wiradi, 1984), merupakan bagaimana “merebut” tanah-tanah yng dikuasi pengusaha asing serta pemerintahan kolonial menjadi tanah negara serta rakyat Indonesia. Yang dengannya pola pikir UUPA (serta amandemennya) yng semisal ini bisa dikatakan bahwasanya aturan ini tak menjaga kegiatan pertanian. Lantaran, terbaca yang dengannya terperinci, bahwasanya seseorang bebas bagi atau bisa juga dikatakan untuk mengolah, mempergunakan, serta mempergunakan serta memanfaatkan tanahnya; sesudah hubungan hukumnya yang dengannya tanah yang telah di sebutkan terperinci. Yang dengannya kondisi ini, maka banyak sekali UU serta aturan lain yng dibuat pemerintah, yng secara hierarki berada di bawah kedudukan UUPA, tak akan mampu merubah paradigma yang telah di sebutkan. Beberapa akibat serta implikasi yng terlihat selama ini dari paradigma berpikir UUPA yang telah di sebutkan di antaranya merupakan:
(1) Pemerintah tak bisa mengontrol konversi lahan-lahan pertanian ke non pertanian. Aneka macam Inpres serta Perda yng dikeluarkan berkenaan yang dengannya konversi lahan bisa dikatakan “tidak bergigi”. Malah mungkin juga bisa dikatakan bahwasanya Inpres serta Perda yang telah di sebutkan sebenarnya tak konsisten yang dengannya UUPA. (2) Kebijakan pencadangan lahan tak pernah mati pertanian yng dicetuskan dalam RPPK, yakni 15 juta ha lahan basah ditambah 15 juta ha lahan kering, sebenarnya pun akan sulit direalisasikan. Penyebabnya merupakan lantaran aturan yng ada, lebih-lebih UUPA menjdai hukum pokok agraria, tak cukup memberi jaminan kebijakan yang telah di sebutkan. (3) Lemahnya pengaturan dalam “aspek penggunaan“ yang telah di sebutkan, secara tak langsung pun berdampak terhadap lemahnya pengaturan tata ruang serta kelangsungan ekosistem secara keseluruhan. Sebidang lahan yng sebenarnya Perlu berupa hutan, bisa saja diolah menjadi lahan pertanian intensif, lantaran hak pihak yng menguasainya dijamin secara hukum.
Kewenangan Deptan Lemah terhadap Aspek Penggunaan serta Pemanfaatan Lahan
Khusus bagi atau bisa juga dikatakan untuk Departemen Pertanian, tugas yng diembannya berkaitan erat yang dengannya “cuma” pada aspek kedua, yakni bagaimana sepetak tanah sebaiknya diolah, ditanami, dipupuk, serta dipelihara tanamannya; menjadikan menghasilkan produksi pertanian. Hal ini selaras yang dengannya sub-sub organisasi dalam Deptan yng terdiri dari bagian yng mengurusi teknologi pertanian, menyediakan modal, menyediakan prasarana, mikirin pemasarannya, serta lain-lain. Jadi, yang dengannya fokus Deptan yng cuma dibatasi pada aspek kedua (penggunaan serta pemanfaatan tanah), sedangkan hal ini tak dijamin cukup kuat secara hukum, lebih-lebih aturan dasarnya (yakni UUPA); maka bisa dikatakan bahwasanya memanglah kegiatan pertanian tidak lebih terjamin di negara ini. Menyerahkan kegiatan pertanian, produksi pertanian, serta ketahanan pangan, cuma kepada mekanisme pasar terbukti sudah memicu pertanian menjdai sektor yng kalah. Nilai ekonomi lahan (serta pun air) yng dipakai bagi atau bisa juga dikatakan untuk kegiatan pertanian seringkali kalah andai lahan (serta air) yang telah di sebutkan dipakai bagi atau bisa juga dikatakan untuk kepentingan lain misalnya bagi atau bisa juga dikatakan untuk rumah, industri, pariwisata, serta lain-lain (Husodo, 2005). Pengertiannya, Deptan cuma mempunyai otoritas (meskipun dibatasi) pada aspek non-landreform. Disaat aspek landreform masih tinggal menjadi wacana, Deptan (serta jajarannya) sulit bagi atau bisa juga dikatakan untuk dituntut melakukan pembaruan agraria secara utuh. Pengertiannya, Deptan menjalankan “Pembaruan Agraria tanpa Landreform”. Sebaliknya, disaat landreform sukses diimplementasikan, maka aspek-aspek non-landreform pun Perlu disiapkan. Distribusi tanah akan menjadi program yng percuma andai infrastruktur serta kelembagaan pendukung pertanian tak disediakan. Di Sukabumi misalnya, tidak sedikit petani yng mendapatkan lahan dari kebun-kebun swasta yng sebagiannya didistribusikan ke masyarakat sekitar, bahkan menjualnya kepada orang kota lantaran orang-orang tak mampu mengusahakannya; baik lantaran infrastruktur yng lemah, ketiadaan modal, maupun lantaran mental berusahatani yng lemah (Sumaryanto et al., 2002). “Aspek landreform” bisa dimaknai menjdai penataan ulang penguasaan serta pemilikan tanah, dimana faktor pembentuknya merupakan masalah hukum (negara serta norma), tekanan demografis, dan struktur ekonomi setempat misalnya ketersediaan lapangan kerja non-pertanian. Masalah yng dihadapi pada aspek ini merupakan konflik penguasaan/pemilikan secara vertikal serta horizontal, inkosistensi hukum (misalnya antara UUPA serta “turunannya”), ketimpangan penguasaan serta pemilikan, penguasaan yng sempit oleh petani menjadikan tak ekonomis, dan ketidaklengkapan serta inkosistensi data. Aktifitas reforma agraria yng relevan pada aspek landreform ini misalnya merupakan penetapan objek tanah landreform, penetapan petani penerima, penetapan harga tanah serta cara pembayaran, pendistribusian tanah kepada penerima, perbaikan penguasaan (misalnya perbaikan system penyakapan), dan penertiban tanah guntay (absentee). Sementara pada “aspek non-landreform” yng didefinisikan menjdai penataan ulang penggunaan serta pemanfaatan tanah, faktor-faktor pembentuknya merupakan faktor geografi, topografi tanah, kesuburan tanah, ketersediaan infrastruktur, kondisi ekonomi lokal serta global, tekanan demografis, ketersediaan teknologi, ketersediaan modal usahatani, dan insentif dari bisnis pertanian. Permasalahan yng dihadapi saat ini dari aspek ini di antaranya merupakan kesuburan lahan yng rendah, degradasi tanah akibat pemanfaatan berlebihan ataupun lantaran ketidaktepatan secara teknis, serta konflik penggunaan/pemanfaatan secara vertikal serta horizontal. Aktifitas pembaruan agrarian yng relevan merupakan banyak sekali bentuk pengelolaan serta pengusahaan tanah secara tepat serta efisien, pembangunan infrastruktur, peningkatan produktifitas tanah yang dengannya penerapan teknologi, perbaikan system pajak tanah, pemberian kredit usahatani, penyuluhan, penyediaan pasar komoditas pertanian, dan pengembangan keorganisasian petani.
Seni manajemen serta Kebijakan Pendayagunaan Sumberdaya Lahan dalam RPPK
Dalam dokumen RPPK terbaca, bahwasanya secara umum, sektor pertanian dihadapkan kepada sempitnya penguasaan lahan per petani dimana tidak sedikit petani gurem (<0,5 ha/keluarga), cepatnya konversi lahan pertanian menjadi non-pertanian serta tak amannya status penguasaan lahan (land tenure). Di sisi lain, terdapat sekitar 32 juta ha lahan yng sesuai serta berpotensi dijadikan lahan pertanian. Oleh lantaran itu, dalam revitalisasi pertanian ditempuh beberapa taktik berkenaan yang dengannya ini, yakni berupa kewajiban kompensasi bagi atau bisa juga dikatakan untuk pihak yng melakukan konversi lahan sawah serta pembukaan lahan pertanian baru, bersamaan yang dengannya penciptaan suasana yng kondusif bagi atau bisa juga dikatakan untuk agroindustri pedesaan agar tekanan tenaga kerja terhadap lahan berkurang. Dari luas daratan Indonesia sekitar 190 juta ha, terdapat sekitar 101 juta ha lahan yng sesuai bagi atau bisa juga dikatakan untuk pertanian tanpa mengganggu keseimbangan ekologis daerah peredaran sungai, sedangkan yng telah dijadikan lahan pertanian baru sekitar 64 juta ha. Yang dengannya demikian masih terbuka kesempatan bagi atau bisa juga dikatakan untuk perluasan pertanian, akan tetapi memerlukan upaya keagrariaan, sosial-ekonomi serta teknis, mengingat lahan yang telah di sebutkan diklaim menjdai daerah hutan, HGU, milik norma, ataupun milik pribadi. Program pembukaan lahan pertanian dalam lima tahun ke depan diarahkan melalui: (a) pemanfaatan lahan terlantar (lahan alang-alang serta semak belukar) di 13 propinsi, (b) pengendalian konversi lahan sawah, (c) perluasan areal sawah di luar Pulau Jawa, (d) perluasan areal pertanian lahan kering, (e) peningkatan luas penguasaan lahan pertanian melalui pendekatan keagrariaan, serta (f) penguatan kelembagaan yng kondusif bagi atau bisa juga dikatakan untuk menunjang agroindustri pedesaan. Pemanfaatan lahan terlantar, berupa lahan alang-alang serta semak belukar, di lakukan pada 13 propinsi yng diprioritaskan pada wilayah yang dengannya kendala minimum. Lahan ini Amat berpeluang dikembangkan baik bagi atau bisa juga dikatakan untuk tanaman semusim maupun tahunan, lebih-lebih di daerah transmigrasi dimana infrastruktur cukup baik serta tenaga kerja tersedia. Konversi lahan sawah ke non pertanian yng saat ini total 110.000 ha per tahun (antara 1999-2002), diharapkan bisa diturunkan menjadi 10.000 ha/tahun mulai tahun 2009, serta secara bertahap mendekati nol. Lahan sawah irigasi yng ada saat ini ini, butuh dipertahankan keberadaannya lantaran sawah yang telah di sebutkan sudah menghabiskan investasi yng besar dalam pencetakan serta pembangunan jaringan irigasinya. Pengendalian konversi lahan sawah diprogramkan melalui penetapan serta pemberlakuan aturan perundang-undangan. Aturan yang telah di sebutkan Perlu menjelaskan sanksi yng tegas bagi pelanggarnya, lebih-lebih ditujukan bagi atau bisa juga dikatakan untuk pengembang, instansi pemerintah dan swasta. Aturan yang telah di sebutkan antara lain butuh memuat diktum bahwasanya bagi setiap pengembang yng akan mengkonversi lahan sawah, diharuskan berlebi dahulu mencetak lahan sawah seluas tiga kali luas lahan sawah yng dikonversi, lengkap yang dengannya sarana irigasi serta sarana penunjang lain-lainnya. Pelaksanaan aturan yang telah di sebutkan didasarkan atas peta Lahan Sawah Utama yng telah mencakup pulau Jawa, Bali serta Lombok. Selain pemanfaatan lahan terlantar serta pengendalian konversi lahan, perluasan areal sawah serta lahan kering akan diarahkan lebih-lebih ke luar Jawa. Dari sisi hukum, tanah negara yng berpotensi bagi atau bisa juga dikatakan untuk perluasan pertanian, lebih-lebih yng hutannya telah dibuka serta telah dipakai selama lebih dari 20 tahun oleh penduduk setempat, butuh diatur sertifikasi hak guna bisnis jangka menengah (10 tahun) serta jangka panjang (30 tahun) bagi atau bisa juga dikatakan untuk merangsang pengembangan agroindustri pedesaan. Sertifikasi hak guna tanah ini bisa diperpanjang serta diwariskan kepada keturunannya, andaikan lahan dikelola secara baik serta ramah lingkungan. Era ini, telah ada 4,5 juta ha lahan yng diberikan HGU oleh pemerintah, yng setengahnya berada di Pulau Sumatera.
Kebijakan Lahan Kekal Pertanian dalam RPPK serta Kendalanya Khusus bagi atau bisa juga dikatakan untuk kebijakan “lahan abadi”, pemerintah sudah menargetkan 30 juta hektar lahan tak pernah mati bagi atau bisa juga dikatakan untuk pertanian, yng tak boleh berpindah fungsi, akan tetapi bisa berganti kepemilikan. Lahan ini akan dibagi menjadi dua, yaitu 15 juta hektar adalah sawah beririgasi, serta 15 juta hektar adalah lahan kering. Lahan yang telah di sebutkan tersebar di seluruh Indonesia yang dengannya tujuan bagi atau bisa juga dikatakan untuk melindungi ketersediaan pangan nasional. Dari sisi perencanaan tata ruang nasional, “lahan abadi” adalah hal yng baru, serta belum pernah dimasukkan dalam kebijakan tata ruang manapun, baik di tingkat nasional maupun daerah. Lantaran itu, mekanisme penetapan lahan tak pernah mati ini berpedoman kepada penentuan Rancangan Umum Tata Ruang (RUTR) suatu wilayah. Sesudah disepakati dalam RUTR, maka lahan yng diperuntukkan menjdai “lahan abadi” yang telah di sebutkan tak boleh berganti pemanfaatannya. Sebagian pihak berpendapat bahwasanya semestinya implementasi lahan tak pernah mati ini Perlu dituangkan dalam aturan tersendiri. Satu hal yng pasti, agar lahan tak pernah mati menjadi bagian dari RUTR nasional, maka RUTR yng telah ada saat ini ini butuh direvisi. Hal ini tentu saja butuh upaya hukum serta kelembagaan yng serius serta tak akan bisa diwujudkan dalam jangka pendek.
Kebijakan lahan tak pernah mati berpotensi bagi atau bisa juga dikatakan untuk berbenturan yang dengannya banyak sekali aturan serta kebijakan agraria yng sudah ada sebelumya. Di antaranya merupakan yang dengannya Aturan Presiden No. 36 tahun 2005 ihwal Pembebasan Lahan bagi atau bisa juga dikatakan untuk Kepentingan Umum (Kompas, 2005). Semangat yng ada pada kedua kebijakan ini cenderung tak sejalan. Pada kebijakan lahan tak pernah mati, sebidang lahan tak boleh dipakai selain bagi atau bisa juga dikatakan untuk pertanian, sedangkan Perpres 36 tahun 2005 bisa merubahnya sepanjang bagi atau bisa juga dikatakan untuk kepentingan umum. Penetapan lahan pertanian tak pernah mati mempersulit berubahnya fungsi lahan pertanian bagi atau bisa juga dikatakan untuk peruntukan lain. Padahal presiden telah membuat aturan ihwal pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan bagi atau bisa juga dikatakan untuk kepentingan umum, yng intinya mempermudah pelepasan tanah bagi atau bisa juga dikatakan untuk kepentingan umum, yaitu mampu pasar, jalan, serta sebagainya. Lokasi yng ditetapkan menjdai lahan pertanian tak pernah mati pun Perlu diputuskan secara cermat menjadikan tujuan bagi atau bisa juga dikatakan untuk menyejahterakan petani serta melindungi ketahanan pangan nasional tercapai tanpa berbenturan yang dengannya kepentingan lain. Selain itu, yang dengannya berlakunya otonomi daerah, maka pengelolaan sumberdaya lahan menjadi kendali langsung pemerintah daerah (Republika, 2005). Disinilah butuh diantisipasi lantaran persepsi pentingnya sumberdaya lahan bagi atau bisa juga dikatakan untuk penyediaan pangan nasional Amat berbeda antara pemerintah kabupaten. Apalagi yang dengannya tuntutan peningkatan Pendapat Asli Daerah, maka mungkin saja lahan-lahan produktif di daerah bisa menjadi korban (dikonversi ke nonpertanian) demi pembangunan. Oleh lantaran itu, yng lebih penting dalam pengelolaan lahan ini merupakan komitmen bersama dari para pengambil kebijakan lebih-lebih di daerah, serta lebih penting lagi lantaran pengelolaan lahan pertanian tak mampu terbatas oleh wilayah administratif namun adalah suatu pengelolaan suatu daerah ekosistem. Pengelolaan sumberdaya lahan Perlu diamankan melalui perangkat hukum apakah itu dalam bentuk undang-undang ataupun aturan pemerintah yng senantiasa memihak kepada kepentingan petani. Pada intinya, akan cukup tidak sedikit UU serta aturan lain yng sudah ada selama ini berkaitan yang dengannya pemanfaatan sumber daya alam (tanah serta air) yng butuh dikaji ulang agar tak kontra produktif yang dengannya konsep RPPK itu sendiri. Semisal kasus undang-undang ihwal pemanfaatan serta pengelolaan air yng tidak sedikit mendapatkan kritik. Kebutuhan serta Ketersediaan Sumber Daya lahan di Indonesia Bagaimanapun, Indonesia butuh berusaha semaksimal mungkin mencukupi kebutuhan pangannya secara mampu berdiri diatas kaki sendiri. Hal ini mengingat besarnya jumlah penduduk, dihadapkan yang dengannya tersedianya lahan pertanian yng cukup luas. Di sisi lain, tenaga kerja pertanian kita pun cukup tidak sedikit. Pada prinsipnya, kita Perlu mampu berdiri diatas kaki sendiri pada bagian pangan. Kemandirian pada bagian pangan lebih dari sekadar swasembada, lantaran memuat juga nuansa politik serta harga diri menjdai sebuah bangsa (Husodo, 2005). Dalam konteks kemandirian pangan, pemerintah sudah menjadikan 5 komoditas menjdai komoditas pokok, yakni beras, jagung, kedelai, gula, serta daging sapi. Seluruh komoditas kecuali peternakan sapi tergolong tinggi ketergantungannya kepada kebutuhan lahan, ataupun disebut menjdai land based agriculture . Andai Indonesia ingin berswasembada bagi atau bisa juga dikatakan untuk keempat jenis pangan yang telah di sebutkan, maka bagi atau bisa juga dikatakan untuk era ini saja dibutuhkan lahan seluas 32,76 juta ha. Lahan yang telah di sebutkan bisa berupa lahan sawah maupun lahan kering, akan tetapi memenuhi syarat bagi atau bisa juga dikatakan untuk penanaman tanaman semusim semisal halnya jagung serta kedelai. Pendapat dari data di Badan Pertanahan Nasional (Kepala BPN, 2001), didasari zone ekonomi pribadi, Indonesia mencakup teritorial seluas 800 juta ha. Dari luasan ini sebagian terbesar yakni 609 juta ha (76%) adalah perairan serta sisanya 191 juta ha (24%) berupa daratan. Sementara pendapat dari Puslitbangtanak (2002), luas daratan Indonesia lebih rendah tidak banyak dari itu, yakni cuma 188,2 juta ha. Dalam konteks bisnis budidaya, maka satu dari sekian banyaknya aspek yng Perlu dijadikan landasan merupakan batasan minimal yng Perlu tetap menjadi areal konservasi, bagi atau bisa juga dikatakan untuk melindungi daya dukung lahan serta prinsip sustainabilitas ekosistem pada biasanya. Maka, sesuai yang dengannya kaidah kepatutan penggunaan tanah (Rencana Tata Ruang Wilayah), dari 191 juta ha daratan, 67 juta ha (35%) Perlu dipakai menjdai daerah lindung serta sisanya seluas 123 juta ha (65%) bisa dipakai bagi atau bisa juga dikatakan untuk areal budidaya. Sesuai yang dengannya fungsinya serta kepatutan penggunaannya, maka daerah lindung mestilah berupa hutan, sedangkan daerah budidaya bisa dipakai bagi atau bisa juga dikatakan untuk penggunaan non-hutan, yakni bagi atau bisa juga dikatakan untuk pertanian serta non-pertanian (perumahan, industri, serta lain-lain). Akan tetapi, hasil rekapitulasi oleh BPN menunjukan bahwasanya daerah lindung yng seharusnya berupa hutan tak seluruhnya berupa hutan. Dari 67 juta ha daerah lindung, 12 juta ha (18%) sudah dipakai berupa bukan hutan lebih-lebih di Wilayah Jawa serta Bali. Sebaliknya pada daerah budidaya, 71 juta ha (58%) masih berupa hutan, lebih-lebih di wilayah Sumatera, Kalimantan serta Irian Jaya. Wilayah ini dia yng bisa dijadikan areal pertanian. Berbeda yang dengannya data BPN, pendapat dari Puslitbangtanak (2002), didasari kondisi biofisik lahan (fisiografi, bentuk wilayah, lereng, iklim), lahan yng sesuai bagi atau bisa juga dikatakan untuk pertanian bukan 123,4 akan tetapi cuma seluas 100,7 juta ha. Hal ini relatif percis yang dengannya dokumen RPPK, dimana luas lahan yng bisa dijadikan pertanian merupakan seluas 100,8 juta ha. Dari seluruh lahan ini, 24,5 juta ha di antaranya sesuai bagi atau bisa juga dikatakan untuk lahan basah (sawah); 25,3 juta ha sesuai bagi atau bisa juga dikatakan untuk lahan kering tanaman semusim; serta 50,9 juta ha sesuai bagi atau bisa juga dikatakan untuk lahan kering tanaman tahunan. Andai dihubungkan yang dengannya kebutuhan lahan sawah bagi atau bisa juga dikatakan untuk ditanami padi, maka areal seluas 24,5 juta ha telah memadai bagi atau bisa juga dikatakan untuk berswasembada, lantaran yng diharapkan lebih tidak lebih cuma 10 juta ha, apalagi andai teknologi usahatani bisa diperbaiki. Bagi atau bisa juga dikatakan untuk kondisi penggunaan ataupun tata guna lahan era ini, ditemui data yng beragam. Pendapat dari Puslitbangtanak (2002), dari 24,5 juta ha lahan yng sesuai bagi atau bisa juga dikatakan untuk lahan basah, 8,5 juta ha di antaranya telah dipakai bagi atau bisa juga dikatakan untuk lahan sawah. Akan tetapi lantaran adanya konversi (alih guna) lahan sawah, maka luas lahan sawah baku pada tahun 2002 sekitar 7,8 juta ha. Total areal pertanian di Indonesia era ini merupakan 36,3 juta ha, meliputi sawah, tegalan, pekarangan, maupun perkebunan (rakyat serta swasta besar). Andai disandingkan yang dengannya daerah yng bisa dijadikan menjdai pertanian (123,4 juta ha), maka masih ada 87,1 juta ha areal yng era ini belum dijadikan wilayah pertanian. Lebih jauh dalam dokumen RPPK terbaca, bahwasanya lahan yng potensial bagi atau bisa juga dikatakan untuk perluasan areal tanaman pangan telah tak tersedia (potensi ekstensifikasi negatif), lantaran telah dipakai bagi atau bisa juga dikatakan untuk tegalan, perkebunan, serta sebagian lagi berupa lahan terlantar. Yang dengannya demikian, pengembangan areal tanaman pangan cuma bisa di lakukan pada lahan terlantar. Dalam dokumen yang telah di sebutkan pun didapati bahwasanya kita masih mempunyai potensi lahan bagi atau bisa juga dikatakan untuk pertanian sebesar 100,8 juta hektar. Dari luasan ini, sudah dimanfaatkan 68,8 juta hektar, menjadikan lahan yng belum dimanfaatkan sekitar 32 juta hektar. Selain itu, terdapat potensi lahan bagi atau bisa juga dikatakan untuk bisnis pertanian berupa lahan terlantar 11,5 juta hektar dan pekarangan 5,4 juta hektar. Khusus bagi atau bisa juga dikatakan untuk Jawa, pemanfaatan lahan telah melampui ketersediaannya (over utilization). Selain over utilization, lahan di Jawa mengalami pengurangan akibat konversi ke penggunaan non pertanian yang dengannya laju yng semakin tinggi. Pada periode tahun 1981-1999 terlaksana konversi lahan sawah ke penggunaan non-pertanian seluas 1.627.514 hektar; serta sekitar 1 juta hektar di antaranya terlaksana di Jawa. Lantaran tingkat kesuburan lahan di Jawa jauh lebih tinggi dibanding di luar Jawa serta kondisi infrastruktur yng pun lebih mapan, maka dalam jangka panjang lahan-lahan produktif di Jawa semisal lahan sawah tetap butuh dipertahankan menjdai lahan pertanian. Kondisi lahan di Jawa makin memprihatinkan lantaran penguasaan lahan oleh petani yng sempit tak mampu mencapai skala bisnis yng ekonomis, menjadikan bisnis pertanian di Jawa menghadapi ancaman stagnasi. Luas areal yng masih berupa hutan di Jawa era ini cuma bersisa 3,3 juta ha. Di sisi lain, terdapat lahan kritis yng Amat memprihatinkan, yakni 10,7 juta ha ataupun 84,2 % dari luas wilayahnya (Kompas, 2003). Satu dari sekian banyaknya potensi yng sampat era ini tidak lebih diperhatikan merupakan keberadaan lahan rawa. Luas lahan rawa pasang surut di Indonesia lebih dari 33,4 juta ha, yng tersebar dibanyak propinsi, akan tetapi yng terbesar ada di wilayah Kalimantan (8,13 juta ha), Sumatera (6,6 juta ha), Papua (4,2 juta ha), serta Sulawesi (1,2 juta ha). Yang dengannya teknologi yng ada, petani sudah mampu menghasilkan 3-4 ton padi per ha. Akan tetapi yang dengannya peningkatan teknologi, yakni pada skala penelitian, sudah mampu diperoleh 7-8 ton gabah per ha. Selain bagi atau bisa juga dikatakan untuk padi sawah, lahan rawa pun sesuai bagi atau bisa juga dikatakan untuk palawija yakni jagung serta kedelai. Ketaksiapan System Hukum serta Kelembagaan Penataan Ruang
Lahan tak pernah mati pertanian adalah konsep agraria yng berkenaan yang dengannya aspek penggunaan serta pemanfaatan lahan. Bagi atau bisa juga dikatakan untuk mewujudkan kebijakan ini, maka Amat erat kaitannya yang dengannya kebijakan ihwal tata ruang wilayah. Penataan ruang merupakan proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang serta pengendalian pemanfaatan ruang (Pasal 1 ayat 3, UUTR No. 24 tahun 1992). Tujuannya merupakan agar (a) terselenggaranya pemanfaatan ruang berwawasan lingkungan yng berlandaskan Wawasan Nusantara serta Ketahanan Nasional, (b) terselenggaranya pengaturan pemanfaatan ruang daerah lindung serta daerah budidaya, serta (c) tercapainya pemanfaatan ruang yng mempunyai kualitas. Pada masa orde baru, pembinaan tata ruang di lakukan melalui banyak sekali kegiatan, yakni (Sangaji,1999): (1) tata guna tanah, berupa pemetaan penggunaan tanah serta kemampuan tanah, (2) tata kota serta daerah, yaitu penyusunan rencana pengembangan kota serta daerah, serta (3) tata agraria, yaitu pendaftaran, penertiban, dan pengawasan hak-hak atas tanah. Ke hidup-an yng mempunyai kualitas yng dituju dalam kebijakan penataan ruang, sebagaimana terdapat dalam Pasal 5, merupakan berupa: (1) terwujudnya ke hidup-an bangsa yng cerdas, berbudi luhur serta sejahtera, (2) terwujudnya keterpaduan serta penggunaan sumberdaya alam serta sumberdaya buatan yang dengannya memperhatikan sumberdaya kita-kita, (3) meningkatnya pemanfaatan sumberdaya alam serta sumberdaya buatan secara berdaya guna, sukses guna, serta tepat guna bagi atau bisa juga dikatakan untuk menaikan kualitas sumberdaya kita-kita, (4) terwujudnya perlindungan fungsi ruang serta mencegah dan menanggulangi dampak negatif terhadap lingkungan, dan (5) terwujudnya keseimbangan kepentingan kesejahteraan serta keamanan. Di dalam UU No. 24 Tahun 1992 ihwal Penataan Ruang ditentukan bahwasanya penataan ruang diatur secara terpusat yang dengannya UU (Pasal 9), dan secara hierarkhis ataupun berjenjang. Pendekatan yng top down semisal ini dipandang menjdai pendekatan yng akan lebih memberi jaminan keutuhan serta konsistensi system tata ruang secara nasional. Secara bertahap akhirnya bisa disusun Tata Ruang wilayah baik secara nasional, propinsi, kabupaten, kota serta tata ruang wilayah. Yang dengannya dasar UU No 24 tahun 1992 sudah disusun Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional ataupun Seni manajemen Nasional Pengembangan Pola Tata Ruang (SNPPTR). Hal ini lalu menjadi dasar bagi atau bisa juga dikatakan untuk Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) propinsi daerah tingkat I, serta RTRW kebupaten ataupun daerah tingkat II. Yang dengannya adanya kebijakan Otonomi Daerah, maka alur yng topdown yang telah di sebutkan menjadi terbalik prosesnya. Daerah tingkat II justeru menjadi titik tolak struktur tata ruang, yng lantas menjadi bahan bagi atau bisa juga dikatakan untuk penetapan tata ruang propinsi serta nasional. Lebih jauh, melalui Keppres no 57 tahun 1989 sudah dibentuk tim Koordinasi Pengelolaan Tata Ruang Nasional. Keberadaan tim ini mulai tahun 1993 berganti menjadi Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional (BKTRN) didasari Keppres no 75 tahun 1993. Terlihat bahwasanya sudah cukup tidak sedikit produk hukum yng diperoleh pemerintah bagi atau bisa juga dikatakan untuk menyusun tata ruang agar kebutuhan pembangunan serta sektor-sektor bisa dipenuhi. Akan tetapi demikian, permasalahan tata ruang di Indonesia masih adalah masalah besar yng belum selesai, serta bisa dikatakan masih “carut marut” (Sangaji, 1999). Selaras yang dengannya itu, Budiharjo (1995), menyatakan bahwasanya terdapat beberapa issue permasalahan ihwal tata ruang di Indonesia, lebih-lebih masalah ketepatan perencanaan. Terdapat keseringan bahwasanya tata ruang disusun sendiri-sendiri, baik secara vertikal maupun horizontal; menjadikan era ini tak mampu disebutkan yang dengannya pasti siapa sebenarnya yng mempunyai kewenangan penuh dalam menyusun tata ruang. Setiap instansi seolah berjalan sendiri yang dengannya konsep serta rencananya, menjadikan terlaksana tumpang tindih. Selain itu, tata ruang yng disusun selalu berubah-ubah menjadikan bersifat temporal, serta pun tak terbuka (transparan) kepada seluruh masyarakat.
Kesimpulan serta Saran Kebijakan
Dari uraian di atas terlihat bahwasanya, rencana bagi atau bisa juga dikatakan untuk mewujudkan “lahan abadi pertanian” menghadapi banyak sekali kendala baik dari sisi hukum, kelembagaan, maupun ketersediaan data serta berita. Selengkapnya, setidaknya ada lima permasalahan yng menghadang bagi atau bisa juga dikatakan untuk mewujudkan “lahan abadi” pertanian, yakni: Pertama, secara paradigmatis system hukum agraria kita (UUPA No. 5 tahun 1960) menempatkan “aspek penggunaan dan pemanfaatan tanah” ataupun bagaimana sebidang akan dipakai lebih lemah daripada pengaturan “aspek penguasaan dan pemilikan”. Ini adalah akar permasalahan mengapa pengaturan tata ruang yng terpadu serta tegas Amat sulit diwujudkan, lantaran disaat sebidang tanah sudah dikuasai satu pihak, maka ia mempunyai kewenangan bagi atau bisa juga dikatakan untuk mempergunakannya sesuai keinginannya. Kedua, kebijakan lahan tak pernah mati mempunyai ketidakselarasan yang dengannya beberapa kebijakan serta produk hukum lain, misalnya yang dengannya Perpres No. 36 tahun 2005 ihwal Penggunaan Tanah bagi atau bisa juga dikatakan untuk Kepentingan Umum; serta yang dengannya semangat otonomi daerah. Ketiga, “lahan abadi” pertanian cuma bisa diwujudkan andaikan perencanaan tata ruang baik secara nasional maupun wilayah sudah disepakati. Akan tetapi hingga era ini, konsep tata ruang serta kebijakan ihwal tata ruang di Indonesia belum mempunyai kebijakan yng konsisten, serta cenderung tumpang tindih (secara vertikal maupun horizontal). Keempat, secara keorganisasian dalam struktur pemerintahan, tugas serta program yng Perlu dijalankan Deptan Amat erat kaitannya yang dengannya “aspek penggunaan dan pemanfaatan tanah”, padahal Deptan tak mempunyai otoritas yng cukup bagi atau bisa juga dikatakan untuk itu. Lantaran itu, bagi atau bisa juga dikatakan untuk mewujudkan kebijakan lahan tak pernah mati, Deptan butuh dukungan lembaga pemerintah lain di luar Deptan. Kelima, dari sisi pemetaan penggunaan serta kemampuan lahan, ketersediaan data serta berita era ini belum memadai bagi atau bisa juga dikatakan untuk merumuskan serta memetakan “lahan abadi” dimaksud dalam waktu dekat. Bertolak dari kondisi ini, maka dasar hukum tampaknya Perlu menjadi basis pokok bagi atau bisa juga dikatakan untuk bisa mewujudkan kebijakan lahan tak pernah mati, lantaran permasalahan yng dihadapi tidak sedikit berkenaan yang dengannya hukum serta kebijakan. Kebijakan lahan tak pernah mati mestilah berdiri di atas satu dukungan hukum yng kuat setingkat undang-undang. Secara prinsip, sektor pertanian memanglah butuh “Undang-Undang Pertanian” menjadikan seluruh kebijakan bisa direalisasikan. Lantaran belum mempunyai UU Pertanian, maka kita sulit misalnya bagi atau bisa juga dikatakan untuk mengendalikan konversi lahan, tak bisa menjaga petani serta komoditas pertanian, sulit menuntut anggaran yng memadai (selama ini anggaran Deptan lebih tidak lebih cuma 1 % dari APBN), dan tak bisa mempertahankan kelembagaan penyuluhan. Selain itu, kita pun tak akan bisa mewujudkan kebijakan lahan tak pernah mati.
Selain problem kebijakan lahan tak pernah mati, sebenarnya tidak sedikit hal ihwal keagrariaan yng akan bisa diselesaikan andaikan kita mempunyai UU Pertanian. Di antaranya merupakan batasan maksimal serta minimal kepemilikan lahan perorangan serta badan bisnis. Selain itu, andapun bisa mengendalikan konversi lahan pertanian misalnya yang dengannya menerapkan kebijakan ihwal pajak tanah yng tinggi bagi atau bisa juga dikatakan untuk penggunaan di luar pertanian, yakni pada wilayah-wilayah yng sudah diperuntukkan bagi lahan pertanian.
Penulis : Dr. Syahyuti Peneliti Pada Pusat Analisis Sosial Ekonomi serta Kebijakan Pertanianlan. A. Yani No. 70 Bogor. 16161
Sponsored Links loading... Loading... .
Source Articles & Image : petanitop.blogspot.com
Seputar Kebijakan Lahan Abadi untuk Pertanian Sulit Diwujudkan
Terima kasih telah membaca Kebijakan Lahan Abadi untuk Pertanian Sulit Diwujudkan. Semoga pos dari situs web Cara Menanam berguna dan memberi manfaat. Baik untuk anda dan buat website Cara Menanam. Silakan berbagi ulasan Kebijakan Lahan Abadi untuk Pertanian Sulit Diwujudkan tadi ke situs web media anda. Bagikan artikel dari Cara Menanam melalui media sosial yang ada di bawah. Dan kunjungi Daftar Isi Blog Cara Menanam untuk mendapat info lengkap terbaru 2017. Lalu baca pembahasan selain dari : Kebijakan Lahan Abadi untuk Pertanian Sulit Diwujudkan yang lebih terupdate lengkap dan free. Atau simak artikel gratis terkait dari situs web Cara Menanam di bawah. Demikan dan sekian tentang Kebijakan Lahan Abadi untuk Pertanian Sulit Diwujudkan. Dan Assalamualaikum pembaca Cara Menanam.
Advertisement