Petani Walau Hidup Sederhana Lebih Mulia Dibanding Koruptor yang Hidup Mewah

- Maret 04, 2017

Petani Walau Hidup Sederhana Lebih Mulia Dibanding Koruptor yang Hidup Mewah

 
. . Sejak lima ataupun empat abad silam, bangsa Asia semisal Cina, India, Persia serta Eropa sudah melakukan perdagangan yang dengannya penduduk pribumi diseluruh pelosok Nusantara. Bangsa ini cukup dikenal, lantaran subur serta kaya sumber daya alam. Lebih-lebih hasil bumi serta pertaniannya, semisal kopra, cendana, gaharu serta rempah-rempahan. Dahulunya Nusantara ini disebut negeri, “gemah ripah loh jenawi”. Malah dalam dendang tahun 60-an disebut “negeri kolam susu”. Sepertinya telah ditakdirkan negeri ini merupakan sepotong sorga yng diturunkan Tuhan dari langit.
Tidak sedikit kisah serta sebutan-sebutan perihal negeri ini yng indah serta elok. Akan tetapi sebutan ini tak selalu seindah namanya, bahkan malahan Suka kali membawa masalah serta petaka besar bagi ke hidup-an rakyatnya. Hampir sepanjang masa, rakyatnya hidup miskin. Tiga setengah abad lamanya dijajah Belanda serta belakangan petaninya terjajah juga oleh bangsanya sendiri. Apapun sebutan serta kisahnya, lantaran penyebabnya yaitu kebodohan, “kufur nikmat”, sudah “menina-bobokkan” bangsa ini dalam waktu yng lama. Bangsa ini tertidur pulas dihamparan “permadani hijau” bertabur jamrud, mutu-manikam, terhipnotis hembusan angin sorga yng terus meniupi katulistiwa serta hanyut jauh dalam dendang “rayuan pulau kelapa”.
Ironisnya seluruh itu hanyalah mimpi semata. Nyatanya nasib serta ke hidup-an para petani dinegeri ini tidak seindah mimpi yng datang disetiap tidur orang-orang. Karena realitanya, disaat orang-orang terbangun serta menghadapi fakta hidup orang-orang yng sebetulnya, malahan ke hidup-an orang-orang Amat memprihatinkan serta menggenaskan. Sungguh memuakkan terlahir menjdai petani, lantaran statusnya Amat dipandang rendahan serta sebelah mata.
Menjadi petani berguna siap bagi atau bisa juga dikatakan untuk menderita. Malah dalam kondisi yng Amat tertekan sekalipun, orang-orang petani masih dihadapkan yang dengannya harga pupuk yng tidak murah, gagal panen pengaruh iklim yng tidak kompromis akibat pemanasan global, bencana alam lain-lainnya, ancaman hama, ditambah segudang regulasi serta kebijakan pemerintah yng tak pernah memihak kepada para petani.
Tidak sedikit sawah dipelosok-pelosok negeri dibiarkan terlantar oleh yng empunya, lantaran ongkos produksi bertani padi lebih tinggi dari hasil penjualan pasca panen. Harga beras yng murah membuat petani setengah hati bagi atau bisa juga dikatakan untuk menggarap sawah-sawah orang-orang. Kalaupun sawah dikerjakan, bukan berguna orang-orang hendak mencari untung, namun cuma sekedar mengisi hari-hari serta berupaya menghalau kegundahan yng menyelimuti orang-orang. Kebijakan negara mengimpor beras bagi atau bisa juga dikatakan untuk menekan harga gabah petani sungguh memukul mental serta kinerja para petani.
Negara ini lebih suka mensubsidi negara asal pengimpor, ketimbang mensubsidi petani sendiri. Pada hal pembelian beras ke Thailand serta Vietnam yang dengannya harga yng tidak murah di lakukan yang dengannya mekanisme impor berlabel subsidi. Ironisnya impor yang telah di sebutkan semuanya memakai uang negara yang dengannya berkedok subsidi bagi atau bisa juga dikatakan untuk rakyat, JPS, raskin, operasi pasar serta pasar murah. Praktek subsidi serta regulasi terhadap impor beras di lakukan yang dengannya alasan agar harga beras murah serta terjangkau oleh rakyat.
Diperlihatkanlah seolah-olah negara peduli yang dengannya nasib rakyat miskin, yang dengannya segera memenuhi kebutuhan pangan orang-orang. Kebohongan pun terus berlanjut. Dilegitimasi yang dengannya daya beli rakyat yng rendah, maka bagi atau bisa juga dikatakan untuk itu negara bealasan turun tangan memberikan subsidi. Akan tetapi sebetulnya dibalik seluruh itu, kebijakan impor berlabel subsidi sudah memicu kerugian yng Amat besar, lantaran otomatis mematikan jiwa serta semangat bertani para petani – yng menjadi penghuni mayoritas negeri ini. Malah diluar itu telah menjadi sesuatu yang di sembunyikan umum bahwasanya praktek impor beras Amat sarat muatan korupsi.
Faktanya hingga hari ini, tidak sedikit kasus korupsi hebat yng terungkap di Bulog maupun diberbagai lembaga lain-lainnya yng terkait yang dengannya pemenuhan kebutuhan pokok pangan rakyat. Pada hal sebetulnya, bila harga beras serta produk pertanian lain-lainnya katakanlah menguntungkan, maka rakyat Indonesia sebetulnya mampu lebih sejahtera, lantaran mampu mengekspor produk pertaniannya yang dengannya harga yng bersaing.
Karena yang dengannya harga yng baik, logikanya petani kembali bergairah mengelola lahan orang-orang sendiri. Malah bila seluruh pabrikan di Kerawang serta Banten kembali berpindah fungsi semisal semula, maka tempat ini mampu kembali menjadi lumbung pangan nasional serta kembali berswasembada pangan.
Yang dengannya alasan demikian, patut dipertanyakan, kok mampu dinegeri ini “petani kelaparan dilumbung padi”? Anehnya lagi, negara yng dikenal agraris, tanahnya subur, malahan kerja pemerintahnya cuma mengimpor beras, jagung, gula serta kacang kedele. Mana kala semuanya itu mampu ditanam di Indonesia. Bukankah seharusnya menjdai negara agraris, Indonesia patut konsisten mengekspor produk pertanian saja, lantaran Indonesia memiliki keunggulan alamiah (comparative adventage) tidak terbandingkan dibelahan dunia manapun.
Lagi juga, tugas menteri perdagangan Indonesia, seharusnya memaksimalkan ekspor produk pertanian tropis, lantaran secara komparatif Indonesia unggul dibidang ini. Industri tertiar, semisal elektronik serta kendaraan bermotor yng menjadi andalan industri bangsa lain, sebenarnya tak cocok diterapkan di Indonesia, lantaran sebenarnya tidak banyak pun tak mampu merubah peningkatan tarap hidup rakyat Indonesia. Barang-barang tertier cukuplah diimpor, karena selama inipun ke hidup-an industri Indonesia, hanyalah industri “tukang jahit”.
Bila dicermati secara ekonomis, upaya investor membangun pabrik di Indonesia, hanyalah lantaran upah buruh yng murah serta kepentingan strategis orang-orang, agar lebih dekat yang dengannya pangsa pasarnya.
Korupsi di Lumbung Pangan
Sungguh malang nasip petani di negeri ini. Sudahlah dirugikan, lantaran mengeluarkan ongkos produksi yng tidak murah, orang-orang pun tak mampu menjual hasil pertaniannya tidak banyak diatas ongkos produksi. Malah ironisnya, bermacam subsidi yng diberikan negara, malahan dinikmati oleh negara asal pengimpor yng tentunya tidak sedikit mengambil untung. Belum lagi praktek koruptif yng di lakukan oleh aparatus Bulog bersama rekananannya, disaat membeli beras maupun disaat mendistribusikan beras impor kepasaran dalam negeri.
Bulog mampu saja membeli beras ke negara tetangga (tercatat dikuitansi) seharga Rp.5.000,- perkilogram yang dengannya memakai dana APBN, walaupun nyatanya yng dibayarkan kepada importir cuma Rp.4.500,- perkilogram. Korupsinya sekitar Rp.500,- perkilogram. Lalu beras impor yang telah di sebutkan lantas didistribusikan ke rekanan yang dengannya harga yng telah disubsidi oleh negara, katakanlah dijual Rp.3.000,- perkilogram, maka Bulog sekali lagi mendapatkan komisi haram Rp.200,- perkilogram secara diam-diam dari distributor serta rekanan.
Kelak disaat dilempar dipasaran, harga beras impor itupun dijual yang dengannya harga berpluktuasi sekitar Rp.3.500,- perkilogram. Berdalih praktek stabilisasi harga ala Bulog diatas, maka otomatis memicu harga gabah petani dipasaran menjadi anjlok. Pada hal agar bisa untung, seharusnya beras petani terjual Rp.5.000,- perkilogram, sebagaimana pun Bulog membeli beras impor kenegara tetangga. Akan namun, lantaran praktek impor beras ini jugalah, maka akibatnya harga beras petani terpaksa menyesuaikan yang dengannya harga pasar menjadi sekitar Rp.3..500,- perkilogram.
Dari perkiraan diatas, bisa dihitung korupsi yng di lakukan oleh koruptor dilumbung pangan. Asumsinya merupakan bila setahun Bulog mengimpor 200.000 ton beras, maka uang rakyat yng dikorupsinya merupakan sekitar 140.000.000.000,- pertahun ataupun sebelas milyar perbulan. Bukankah itu sebuah angka yng Amat fantastis?
Memanglah aneh, di negeri yng terus nestapa, lantaran korupsi serta dililit utang. Buruh serta abdi negara, semisal PNS, TNI/POLRI digaji murah, sampai-sampai orang-orang pun tidak mampu beli beras yang dengannya harga yng menguntungkan petani. Cuma demi menjaga 20% buruh murah serta abdi negara, maka berdalih subsidi bagi atau bisa juga dikatakan untuk rakyat, pemerintah mengorbankan nasib, keinginan serta malah segala-galanya ke hidup-an masyarakat tani yng mayoritas 80% penghuni tetap negara ini. Malah bila dicermati lebih lanjut, maka uang subsidi serta pembelian beras impor yng sudah dikeluarkan negara itu pun berasal dari pungutan uang rakyat.
Telah sepatutnya dikelola secara adil serta merata, yang dengannya mendahulukan asas kepentingan serta kemaslahatan orang tidak sedikit. Yang dengannya demikian, takkan ada petani yng mati dilumbung padi. Takkan ada tikus yng menguasai lumbung padi, yng bisanya (racunnya) selalu mematikan ke hidup-an petani.
Harapan kita kedepan, hendaknya pertanian menjadi andalan utama serta fokus tetap pemerintah. Buanglah mimpi menjadi negara industri pabrikan, kecuali upaya mendesak yng sesegeranya di lakukan pemerintah bagi atau bisa juga dikatakan untuk meregulasi ulang kebijakan sektor pertanian serta memodernisasi industri pertanian.
Lantaran pertanian merupakan telah adalah karunia besar serta takdir Tuhan bagi atau bisa juga dikatakan untuk kemakmuran negara ini. Jangan hingga bangsa ini berulang kali terpuruk serta jatuh kelobang yng percis. Selama ini petani serta buruh negeri ini cuma dimanfaatkan oleh kepentingan kapitalisme global, lantaran pasarnya yng empuk, murah didikte asing serta terkenal yang dengannya upah buruh yng murah.
Akibatnya, yang dengannya upah serta gaji yng kecil, maka implikasinya merupakan ketidakmampuan buruh, pegawai negeri, salah satunya buruh tani bagi atau bisa juga dikatakan untuk membeli beras yang dengannya harga yng memadai. Yang dengannya demikian diharapkan kedepan, harga beras kita mampu bersaing serta mampu memberikan keuntungan bagi petani pangan, lantaran yang dengannya harga produk pertanian yng baik, keuntungan mampu diraih oleh para petani. Konkritnya, regulasi serta kebijakan pertanian hendaknya mampu memberikan nilai tambah serta keuntungan yng cukup bagi para petani, tentunya diluar ongkos produksi yng sudah orang-orang keluarkan.
Semoga yang dengannya bertahap, kita mampu kembali mengejar ketertinggalan yang dengannya Malaysia, Thailand serta Vietnam yng petaninya lebih sejahtera, karena orang-orang dari dulu konsisten menjdai negara agraris.. Orang-orang malahan tak butuh mengejar target menjadi negara industri pabrikan. Cukup saja menjadi negara agraris serta tetap fokus memodernisasi industri pertaniannya yng langsung menopang ke hidup-an petani-petani orang-orang.
Itulah sekelumit kisah nestapa petani dinegeri ini. Sepanjang masa ke hidup-an orang-orang dikeroyok dari aneka macam sisi sampai-sampai babak-belur, hingga orang-orang pun susah bagi atau bisa juga dikatakan untuk bangkit kembali. Akan tetapi demikian, petani-petani pejuang itu tetap saja memimpikan datangnya sang “ratu adil” serta berharap disuatu era kelak, nasib orang-orang mampu menjadi lebih baik. Sekalipun nyatanya hari ini keberpihakan negara yng ditunggu itu tidak kunjung datang.
Sumber: http://manikwida.blogspot.co.id/2011/12/derita-petani-dan-korupsi-di-sektor.html Sponsored Links loading... Loading... .

Source Articles & Image : petanitop.blogspot.com

Seputar Petani Walau Hidup Sederhana Lebih Mulia Dibanding Koruptor yang Hidup Mewah

Advertisement
 

Cari Artikel Selain Petani Walau Hidup Sederhana Lebih Mulia Dibanding Koruptor yang Hidup Mewah