Profesi Mulia dan Peletak Dasar Peradaban Manusia – PETANI

- Februari 16, 2017

Profesi Mulia dan Peletak Dasar Peradaban Manusia – PETANI

 
. . Pertanian merupakan sebuah produk budaya kita-kita yng menjadi tonggak peletak dasar perkembangan peradaban kita-kita. Hal itu diungkapkan pegiat gerakan petani serta pakar agraria Profesor Gunawan Wiradi di acara “Rembuk Petani Nusantara”, di hari kedua, Rabu (20/1) di Gedung Diklat Pusat Pelatihan Manajemen Serta Kepemimpinan Pertanian (PPMKP) di Ciawi, Bogor, Jawa Barat. Dalam paparannya di hadapan sekitar 200-an petani yng mewakili 112 daerah di seluruh Indonesia itu, Gunawan menegaskan, petani Perlu yakin bahwasanya profesi petani merupakan profesi yng Amat mulia. Gunawan mengatakan, sejak kita-kita prasejarah mengenal pola hidup menetap serta bercocok tanam, sejak itulah profesi petani lahir. “Dan sejak itu pula peradaban berkembang,” kata Gunawan. Budaya bercocok tanam, kata Gunawan, adalah akar dari lahirnya budaya kita-kita lain-lainnya. “Bercocok tanam mula-mula dengan alat dari batu, maka lahirlah seni pahat. Saat menunggu panen, bersantai mendengar kicuan burung, desiran air, maka lahirlah seni suara, kemudian seni tari dan seni berikutnya yang lahir dari sejak adanya budaya pertanian,” tegasnya. Petani, tegas Gunawan, merupakan peletak dasar peradaban. “Karena itu jangan memandang rendah pertanian dan petani. Petani harus percaya diri, bahwa peradaban manusia digerakkan oleh pertanian,” ujarnya. Perjalanan sejarah memanglah lantas membuat hal itu tidak teringat lagi. Kelahiran budaya feodal sudah membuat “kasta” petani turun di bawah “kasta” bangsawan. Lantas sesudah feodalisme mati, sebenarnya “kasta” petani tidak pun naik kelas lantaran sesudah lahirnya revolusi industri, dunia lantas dikendalikan serta dikuasai kaum pedagang. Dunia sendiri lantas menyadari pentingnya bagi atau bisa juga dikatakan untuk mengembalikan pertanian serta kaum petani kepada marwahnya menjdai penggerak peradaban. Lantaran itu pada bulan September tahun 2003, di Sisilia, Italia, 25 menteri pertanian dari negara Uni Eropa berkumpul bagi atau bisa juga dikatakan untuk melakukan “rapat informal” membahas masalah kebijakan pertanian/agraria yng menghasilkan “Deklarasi Taormina”. Deklarasi Taormina menegaskan komitmen dunia perihal kebijakan pertanian yng menekankan pada “hak kedaulatan tiap negara untuk mempertahankan kebijakan pertanianya sendiri” ataupun diterjemahkan menjdai “kedaulatan pangan”. Dalam pertemuan itu disepakati, bahwasanya tujuan bagi atau bisa juga dikatakan untuk memberi jaminan kualitas hidup yng memuaskan bagi rakyat pedesaan cuma mampu diwujudkan andai dilandasi oleh seperangkat nilai yng secara mantap dianut secara luas, serta menjadi dasar bagi kebijakan-kebijakan agraria dan tindakan-tindakan yng mengiringinya, baik di negara Uni Eropa sendiri, maupun diberbagai negara berkembangnya. Dalam deklarasi yang telah di sebutkan dimuat tujuh nilai-nilai yng dianut bersama. Dua dari tiga poin yng relevan bagi atau bisa juga dikatakan untuk kondisi Indonesia merupakan: Pertama, keniscayaan serta kewajiban tiap negara bagi atau bisa juga dikatakan untuk menciptakan serta mempertahankan pertanianya sendiri, serta memungkinkan tiap warga negara yng terlibat dalam kegiatan pertanian bisa mendapatkan ke hidup-an yng layak. Kedua, keniscayaan serta kewajiban tiap negara bagi atau bisa juga dikatakan untuk memperlihatkan hari depan yng lebih maju kepada rakyat miskin serta kaum marjinal melalui “land reform” bagi atau bisa juga dikatakan untuk menciptakan struktur masyarakat yng adil. Di sayangkan, kata Gunawan, di Indonesia gaung “Deklarasi Taormina” sendiri tidak terasa. Alhasil kebijakan pertanian pemerintah malah makin jauh dari keinginan mewujudkan kedaulatan pangan. Malah dalam konteks “reforma agraria”, kata dia, bangsa ini telah melakukan kesalahan yang dengannya menghapus Majelis Permusyawaratan Rakyat menjdai lembaga tertinggi negara. Dia berkisah, disaat Bung Karno disodori draf Rancangan Undang-Undang Agraria, Bung Karno menolak mengesahkan sebelum diuji di universitas. Disaat itu para pakar pun berdebat dalam satu soal paling mendasar: “Bagi bangsa Indonesia, tanah miliki siapa? Apakah individu? Apakah desa? Apakah negara?” Lantas dirumuskanlah bahwasanya: “Bagi bangsa Indonesia, tanah adalah milik seluruh bangsa!” Pertanyaannya lantas, bagaimana bangsa ini mengatur pembagiannya? Maka dirumuskanlah bahwasanya yng mengatur tata pertanahan bagi bangsa Indonesia merupakan Majelis Permusyawaratan Rakyat menjdai lembaga tertinggi negara. Disaat MPR dihapuskan, otomatis semangat UU Agraria bahwasanya tanah merupakan milik bangsa hilang. Pemerintah “mengambil alih” peran itu menjadikan yng terlaksana merupakan ketidakadilan. “Padahal berdasarkan UU Agraria, pemerintah tidak boleh membagi-bagikan tanah,” ujarnya. Lantaran itu, kata Gunawan, agar struktur ini mampu adil, maka semangat itu Perlu dikembalikan ke aslinya. “UUD 1945 yang sudah diamandemen harus dikembalikan untuk mendudukkan kembali MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Itu kuncinya” pungkasnya. Sumber ; http://villagerspost.com/special-report/petani-profesi-mulia-peletak-dasar-peradaban-manusia/ Sponsored Links loading... Loading... .

Source Articles & Image : petanitop.blogspot.com

Seputar Profesi Mulia dan Peletak Dasar Peradaban Manusia – PETANI

Advertisement
 

Cari Artikel Selain Profesi Mulia dan Peletak Dasar Peradaban Manusia – PETANI