Kisah Sukses Para Petani Cabe – Meretas Emas dari Si Pedas

- Maret 04, 2017

Kisah Sukses Para Petani Cabe – Meretas Emas dari Si Pedas

 
. .


Adi Sumantri Menanam Cabe Merah di Tengah Kota Sekali Petik, Raup Rp52 Juta
CABAI, buah serta tumbuhan anggota genus capsicum ini semisal pisau bermata dua. Amat disukai lantaran mampu menambah gairah makan serta melezatkan makanan, namun pun dibenci lantaran pedas, panas, serta memerihkan makanan. Tanaman satu ini umumnya tumbuh subur andai ditanam di daerah sejuk yang dengannya kapasitas air yng tinggi. Namun tak bagi Adi Sumantri yng mampu menanam pohon cabai di tengah kota, tepatnya di lahan milik Universitas Amir Hamzah di Jalan Pancing Pasar V Barat Medan. Lahan seluas 13 rante (4 hektyar) seluruhnya ditanami pohon cabai. “Sekali panen pada periode pertama yakni tiga bulan sekali bisa mencapai 8 ton,” ujar Adi Sumantri yng ditemui wartawan koran ini kemarin. Pendapat dari Adi, menanam cabai Amat menguntungkan. Alasannya, tanaman cabai bukan tanaman musiman. Apalagi, harga cabai terus melonjak naik di pasar. Harga cabai akan melonjak tinggi andai petani cabai mengalami kegagalan panen. “Kebutuhan cabai tidak pernah ada matinya. Jadi, meski harga cabai mahal tapi tetap dibeli orang,” tambahnya. Dipaparkan Adi, hasil panen cabainya sebanyk 8 ton dipasarkan kepada distributor ataupun grosir cabai. Harga per kilonya ia patok Rp6.500. Akan tetapi, harga yang telah di sebutkan bukan adalah harga menetap bagi atau bisa juga dikatakan untuk penjualan panen selanjutnya. Ini lantaran harga cabai tak menentu di pasar. “Saya masih pemula sebagai petani cabai dan baru kali pertama panen cabai. Panen berikutnya mungkin Agustus ini,” bilangnya. Hingga era ini, kata Adi, pemasaran cabainya belum seluas pemasaran petani yng berada di daerah pegunungan. Karena, Adi cuma memasarkan cabainya ke pasar-pasar tradisional di sekitar daerah Jalan Pancing Medan. “Kami menjual tidak menggunakan sistem mengecer, tapi langsung ke grosir yang mau menjadi langganan,” ungkap Adi. Bagi atau bisa juga dikatakan untuk modal pembibitan cabai, Adi mengeluarkan biaya Rp550 ribu. Tiap satu bungkus bibit cabai harganya Rp110 ribu. Dalam hal ini, Adi cuma butuh lima bungkus bibit cabai bagi atau bisa juga dikatakan untuk ditanam di lahan seluas 13 rante. Dari lima bungkus bibit capai itu, menghasilkan 8.000 pohon yng mampu dipanen bagi atau bisa juga dikatakan untuk dua kali. Selain itu, Adi pun mengeluarkan modal bagi atau bisa juga dikatakan untuk menyewa lahan yang telah di sebutkan sebesar Rp2 juta bagi atau bisa juga dikatakan untuk luas lahan satu hektar selama satu tahun. Sedangkan lahan yng disewanya seluas empat hektar. Pengertiannya, Adi dalam satu tahun Adi mengeluarkan dana sewa lahan sebesar Rp8 juta. Ditambah lagi biaya pemupukan serta perawatan yng nilainya tak terlalu besar. “Bisa bayangkan, sekali panen saya bisa menghasilkan Rp52 juta. Sedangkan uang pengeluarannya tidak banyak. Cukup menguntungkan,” akunya. Bagi atau bisa juga dikatakan untuk panen kedua nantinya, Adi memperkirakan mampu memetik hasil panen pada Agustus ini. Panen kedua nantinya dia perkirakan mampu mencapai 10 sampai-sampai 12 ton. Adi yakin, targetnya bakal tercapai. “Intinya harus kerja keras dan kerjasama yang baik dibarengi semangat,” pungkasnya. (mag-6)
Kisah Berhasil Petani Cabai Lampung Bernama Jumakir
Jumakir (48) Bandarjaya, benar-benar puas panen cabenya di artikel ini. Betapa tak, dari seperempat hektare (ha) lahan yng dimanfaatkannya bagi atau bisa juga dikatakan untuk menanam cabe varieatas TM99 (tahan air) serta Lado (tak tahan air), terhitung 10 kali petik telah menghasilkan 3 ton 2 kwintal cabe. Padahal, umumnya yang dengannya lahan yng percis, panen cuma mampu menghasilkan 1,5-2 ton cabe. Dikatakan Jumakir, kesuksesan panen cabe yng dicapainnya tak lain merupakan berkat usahanya terus belajar bagaimana budidaya cabe. Ia pun tak ingin melewatkan setiap peluang belajar yang dengannya petugas penyuluh pertanian. Berlebi-lebih era ia diberikan peluang studi banding ke Binjai, Sumatera Utara. Peluang itu benar-benar dimanfaatkannya bagi atau bisa juga dikatakan untuk mengetahui budidaya cabe. Pun demikian yang dengannya penyuluhan dari Petugas Penyuluh Lapangan Kecamatan Terbanggibesar. Dikatakan Jumakir, menanam cabe di lahan seperempat ha menghabiskan dana sebesar Rp9 juta. Serta era ditemui Radar Lamteng Sabtu (21/2), Jumakir mengaku telah 10 kali memetik cabe. Dari awal panen telah terjual sekitar 3 ton 2 kwintal cabe. Serta diperkirakan buah cabe yng masih di pohon, masih mampu dipetik berkisar 10-20 kali lagi. ’’Bila buah pertama habis selanjutnya batang cabe kembali berbunga yang dengannya normal, maka tak menutup mungkin masih mampu di lakukan panen kedua,’’ terangnya. Selain hasil produksi cabe yng tidak jelek alias bagus, rasa senang yng tidak terhingga dirasakan Jumakir, lantaran harga jual cabe cukup baik. Menjadikan keuntungan yng diperolehnya mencapai 100 % dari modal yng dikeluarkan. Katanya, harga jual cabe di awal bulan Februari ataupun awal panen mencapai Rp15 ribu per kilogram. Meskipun era ini telah turun Rp8 ribu per kilogram. Dijelaskannya lagi, tak ada kendala yng berguna bagi atau bisa juga dikatakan untuk budidaya cabe tahun ini. Cuma dirinya mengakui tahun ini kelebihan air. Selain lantaran hujan yng Suka kali turun, area yng dipakainya bagi atau bisa juga dikatakan untuk menanam cabe merupakan area sawah. Di mana, kebun cabenya dikelilingi tanaman padi. ’’Meskipun area cabe tak saya aliri yang dengannya air, akan tetapi lantaran disekitarnya tanaman padi yng masih butuh tidak sedikit air, mau tak mau air yng ada di sawah merembas ke lahan cabe,’’ ujarnya. ’’Sebetulnya saya ini menanam cabe menentang musim. Yng semestinya petani era ini menanam padi. Akan tetapi saya menyisihkan sebagian lahan bagi atau bisa juga dikatakan untuk ditanam cabe. Walaupun demikian, saya Amat bersyukur cabe mampu tumbuh yang dengannya baik yang dengannya hasil panen yng Amat memuaskan,” akunya. Yang dengannya kesuksesan yng diraihnya yang telah di sebutkan, Jumakir yng tergabung dalam kelompok tani Kaliandra Yukumjaya ingin mengajak petani di kelompoknya menanam cabe. Kalau produksi cabe tidak sedikit, penjualan akan lebih gampang. Serta permintaan cabe dari pasar dan daerah lain cukup tidak sedikit. ‘’Sementara ini, saya baru memenuhi permintaan cabe dari pedagang terdekat semisal dari Bandarjaya,’’ katanya seraya menambahkan bahwasanya dirinya telah menyosialisasikan serta mengajak petani lain bagi atau bisa juga dikatakan untuk ikut menanam cabe. Sementara itu, Margono, tenaga harian lepas tenaga bantu penyuluh (THL TB PP) bagi atau bisa juga dikatakan untuk daerah Yukumjaya, Kecamatan Terbanggibesar mengatakan, petani sebaiknya tak monoton. Pengertiannya, era musim tanam padi ataupun musim tanam komuditas lain, sebaiknya petani tak cuma menanam satu komuditas saja. Tak ada salahnya menyisihkan lahan bagi atau bisa juga dikatakan untuk menanam komuditas lain semisal halnya cabe. Semisal yng di lakukan Jumakir. ’’Menjdai penyuluh, kami akan terus memberikan motivasi kepada para petani bagi atau bisa juga dikatakan untuk menjadi petani yng sukses,” ungkap dia…..
Muhammad Yahya, Petani Cabe Berprestasi Nasional
Meretas Emas yang dengannya Si Pedas Rasa pedas serta hawa panas yng ditimbulkan si pedas tak cuma mampu dikecap. Panasnya membuat dapur ratusan petani di Maros, Sulsel, mengepul berbarengan. Di Kabupaten Maros, siapa tak mengenal Muhammad Yahya, petani cabai berprestasi tingkat nasional 2007 yng sudah merubah 30 hektar (ha) lahan terung menjadi lahan cabai. Lantaran ulahnya, petani di Maros serta sekitarnya berbondong-bondong menanam cabai. Apa pasal? Apalagi kalau bukan harga cabai yng diyakini lebih baik daripada harga terung. Tergiur Berhasil Muhammad Yahya tergiur mengembangkan bisnis cabai sesudah melihat keberhasilan petani cabai di Batu, Jatim. Para petani di sana mampu menyekolahkan anak-anak orang-orang ke perguruan tinggi dari hasil tanam cabai. Fenomena pada tahun 2000 itu membuat Yahya terpikir mengembangkan cabai di Maros. “Akhirnya muncul motivasi saya, lahan seluas ini kenapa kita tidak dapat seperti itu,” paparnya era ditemui AGRINA beberapa waktu lalu. Lantas, pria kelahiran Maros, 1 Juli 1968 ini bersama tiga rekannya memutuskan menanam cabai di lahan terung mulai yang dengannya luasan setengah are (50 m2). ”Tanamannya luar biasa, produksinya luar biasa,” Ketua Kelompok Sumber Rejeki ini bertutur bahagia. Cuma saja, era itu pasar menjadi kendala lantaran belum mengetahui pasar cabai di Maros. Setahun berjalan, petani terung serta labu di wilayahnya masih enggan berpindah komoditas lantaran harga labu masih tinggi, sedangkan harga cabai cuma Rp250/kg. Walau demikian, Yahya tetap teguh pendirian menanam si biang pedas itu. Memetik Emas Dua tahun lantas, luas pertanaman cabai menjadi 1.500 m2. Puncaknya, pada 2007 luas areal pertanaman cabai mencapai 20 ha. Era itu harga cabai di Maros melambung menjadi Rp20 ribu/kg. Anggota Kelompok Tani Sumber Rejeki serta petani lain pun berbondong-bondong mengikuti jejak Yahya. ”Anggota kami pernah sempet menikmati keuntungan. Waktu itu tidak sedikit petani saya yng hingga yang dengannya luas lahan 15 are itu hingga untung Rp20 juta dari hasil panennya,” ungkap dia. Kini, bukan cuma Sumber Rejeki yng memetik emas dari si pedas, akan tetapi kelompok tani lain pun ikut-ikutan. Telah 80 ha lahan pertanaman cabai terhampar di Maros milik sembilan gapoktan. Sebanyk 30 ha di antaranya milik kelompok Sumber Rejeki. Mula-mula Yahya serta rekan-rekannya cuma menanam cabai keriting merah. Akan tetapi, seiring pasar yng kian melemah, orang-orang pun mengembangkan cabai rawit besar. ”Kita Perlu pun mengembangkan cabe rawitnya. Kalau cabe keriting jatuh, ada harapan cabe rawit. Kalau cabe rawit jatuh ada diharapkan di cabe keriting,” terperinci Yahya yang dengannya logat khas Sulawesi yng kental. Cabai keriting mendominasi sekitar 60% di seluruh lahan pertanaman, sisanya cabai rawit. Sekali panen, kelompok Sumber Rejeki mampu menghasilkan sekitar 7-8 ton cabai keriting per ha serta 5-6 ton cabai rawit per ha. Biaya produksi sekitar Rp10 juta/ha ataupun Rp5.000/kg. Survei Pasar Dalam mengembangkan cabai, Yahya berlebi dulu mikirin pasar. Dia kerap menjelajah banyak sekali daerah bagi atau bisa juga dikatakan untuk ekspansi pasar serta melihat perkembangan pasar cabai. Selain itu, Yahya pun kerap berselancar di dunia maya (internet) bagi atau bisa juga dikatakan untuk survei harga. Yang dengannya demikian, dia serta kelompoknya tak khawatir lagi ihwal serapan cabai lantaran tahu berita pasar serta menggandeng tidak sedikit mitra. Hasil panen orang-orang dipasarkan ke daerah-daerah di Sulsel, Manado (Sulut), Balikpapan (Kaltim), Ambon (Maluku), serta Papua. Selain mendapatkan bimbingan dari Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, kelompok penerima penghargaan bergengsi Ketahanan Pangan Tingkat Nasional pada 2010 ini pun mendapatkan pembinaan dari Bank Indonesia (BI). Bimbingan BI berupa percontohan budidaya cabai secara organik serta penggunaan mulsa plastik.
Rasyidin, Petani Cabe Berhasil Sesudah Gagal Berdagang
Rasyidin (40) penduduk Gampong Meunasah Meupucak Blang Jruen Kecamatan Tanah Luas Aceh Utara, merupakan pengusaha yng pernah maju pesat dibidang bisnis perdagangan padi, pinang, kopra serta coklat di Kota Kecamatan itu. Bisnis itu bangkrut. Akan tetapi Bagi Rasyidin yng dikenal Toke Rasyidin Blang Jruen itu, tak menjadikan semangatnya patah arang. Kini ia berpindah menjdai petani cabe yng sukses. Berbekal keyakinan serta semangat yng menggebu sesudah gagal serta merugi dari berdagang hasil bumi, Rasyidin beserta isteri Rosmawati (38) serta ke-empat anaknya banting stir bangkit nekat menggarap tanah seluas 2400 m persegi ataupun enam rantai. Ia menanam cabe. Lahan pertanian cabe di tanah sewa di depan Pos Makoramil 10 Tanah Luas Aceh Utara yang telah di sebutkan diolah serta diusahakan Rasyidin yang dengannya tanaman sekitar 6500 batang cabe. Bagi atau bisa juga dikatakan untuk mengolah lahan meliputi sewa lahan, biaya penanaman, pemeliharaan serta obat-obatan dan pemupukan ia mengeluarkan dana sekitar Rp.5 juta. Uang pinjaman yng diusahakan yang dengannya sungguh-sungguh yang telah di sebutkan kini sudah membuahkan hasuil. Rasyidin telah enam kali menuai panen yng jumlahnya mencapai satu ton. Sedang yng belum dipetik masih dipohonnya ditaksir jumlahnya nebcapai sekitar satu ton lagi. Serta kalau kelak selesai di panen seluruhnya jumlah hasil panen mencapai 2 ton, kata Rasyidin didampingi isteri tercinta. Sedang harga jual disebutnya dari hasil yng sudah dipasarkan dijual Rp.6.000 per kilogramnya yng berguna akhir panen ini akan sukses mengumpulkan uang sekitar Rp.12 juta. Ia memperkirakan keuntungan serta hasil bisnis bertani cabe seluas 6 rante yang dengannya modal Rp. 5juta serta tenaga akan mendapatkan keuntungan sebesar Rp.7 juta dalam 5 bulan. Ny.Rosmawati mengaku orang-orang tak cuma berusaha bertani cabe, akan tetapi ia pun menanam timun dilahan pertanian tak jauh dari tempat itu yakni di daerah persawahan Gampong Meunasah Meupucak Tanah Luas.”Kami yakin mencari rejeki tak cuma satu jalan, akan tetapi tidak sedikit cara menuju kesuksesan yng bisa di lakukan hamba Alloh asalkan kita mau, yakin serta bersungguh-sungguh akan sukses serta berhasil,” ucap Ny.Toke Rasyidin mensyukuri nikmat Sang Pencipta. (Abbas Gani/H.Nur)
Rimbun, Cabe Keriting Unggul serta Kisah Berhasil
Rimbun, Cabe Keriting Unggul Rimbun, Cabe Keriting Unggul Kalau melihat hamparan tanaman cabai keriting yng tumbuh subur memenuhi lereng bukit di Kayu Aro, Kerinci, Jambi, seakan mengingatkan pada sosok rambut kribo yng dimiliki oleh Edi Brokoli. Buahnya yng berwarna merah menyala serta keriting memanjang itu muncul hampir di setiap sela daun yng ada, menjadikan tampak rimbun menjuntai ke bawah. Tak salah kiranya cabai ini dinamakan “Rimbun”. Selain itu, cabai keriting produk Cap Kapal Terbang ini pertumbuhannya Amat kuat serta seragam. Pendapat dari Haji Samyono, sang pemilik lahan, cabai Rimbun mampu tumbuh yang dengannya baik meskipun ditanam di dataran tinggi. Di lahannya yng terdapat atau terletak pada sebuah lereng di Desa Lindung Jaya Kersik Tuo itu, cabai Rimbun seluas seperempat hektar mampu tumbuh serta berbuah yang dengannya baik. Unggulan di Kayu Aro Kayu Aro adalah satu dari sekian banyaknya kecamatan di Kabupaten Kerinci, Jambi yng mempunyai potensi besar bagi atau bisa juga dikatakan untuk pengembangan komoditas hortikultura, serta cabai sudah menjadi satu dari sekian banyaknya komoditas unggulannya. Setiap musimnya tak tidak lebih dari 1.500 ha lahan ditanami cabai, ataupun yang dengannya kata lain dalam setahun luas penanaman cabai di Kayu Aro mencapai 3.000 ha. Dari luas tanam yang telah di sebutkan, 70 persennya masih mempergunakan cabai varietas lokal serta 30 % sisanya mempergunakan varietas hibrida semisal cabai keriting Rimbun. Masih rendahnya pemakaian cabai hibrida dikarenakan petani yng kebanykan lahannya terdapat atau terletak di dataran tinggi masih terasa ragu menanam cabai jenis ini. Petani menilai cabai hibrida masih tidak lebih cocok kalau dikembangkan di dataran tinggi. Orang-orang takut merugi andai menanam cabai baru semisal varietas hibrida ini. Satu dari sekian banyaknya hal yng dikhawatirkan oleh petani cabai dataran tinggi merupakan serangan penyakit Anthraknose ataupun petani Kayu Aro Suka menyebutnya penyakit busuk separoh. Penyakit ini sudah menjadi momok bagi petani cabai khususnya di dataran tinggi. Suhu yng lebih rendah yang dengannya tingkat kelembaban udara tinggi menjadi faktor lingkungan yng mendukung perkembangan penyakit ini. Andai tanaman cabai telah terserang akan Amat sulit bagi atau bisa juga dikatakan untuk mengendalikannya serta Amat beresiko memicu gagal panen. Akan tetapi, sesudah di lakukan penanaman langsung cabai Rimbun di daerah dataran tinggi Kayu Aro para petani telah mulai yakin yang dengannya performa tanaman cabai hibrida di dataran tinggi. Cabai yng ditanam pada ketinggian sekitar 1.200 hingga 1.400 mdpl itu mampu menyesuaikan diri yang dengannya baik. Umurnya pun relatif lebih pendek, sekitar 105 – 112 HST telah mampu dipanen. Bandingkan yang dengannya umur panen cabai lokal yng mampu mencapai lima bulan. Yng lebih penting lagi, cabai yang dengannya bentuk buah panjang ramping khas cabai keriting yang dengannya panjang ± 14 cm serta lebar ± 0,7 cm ini relatif lebih tahan terhadap serangan penyakit Anthraknose. Hal ini dia yng membuat petani di Kayu Aro berani bagi atau bisa juga dikatakan untuk mengembangkan cabai ini. Dihargai lebih tidak murah Selain bentuk serta ukuran buah yng telah mampu diterima pasar, rasa cabai Rimbun pun tak kalah pedas andai dibandingkan yang dengannya cabai keriting lokal. Pedagangpun tak ragu bagi atau bisa juga dikatakan untuk menampung cabai ini, lantaran konsumen pun menyukainya. Malah ada pun pedagang yng berani menghargainya lebih tidak murah sampai-sampai Rp. 2.000/kg dari cabai lain-lainnya. Pedagang berani menghargai lebih tidak murah cabai yng mempunyai potensi hasil sampai-sampai 14,1 ton/ha ini lantaran kadar airnya lebih rendah menjadikan lebih tahan simpen lebih-lebih era pengiriman jarak jauh serta buahnya tak gampang menyusut ataupun keriput. Cabai dari Kayu Aro tak cuma bagi atau bisa juga dikatakan untuk memenuhi pasar lokal akan tetapi pun bagi atau bisa juga dikatakan untuk mensuplai kebutuhan pasar di Jambi, Padang, serta Palembang. Oleh lantaran itu ketahanan simpen era pengiriman jauh menjadi satu dari sekian banyaknya pertimbangan utama bagi pedagang. Andai dibandingkan cabai keriting lain-lainnya, Rimbun mempunyai selisih bobot 5 – 7 kg lebih berat dalam setiap karungnya. Kalau umumnya per karung cabai mempunyai bobot 50 kg, maka per karung cabai Rimbun mampu mencapai 55 – 57 kg. Munculkan kisah manis Berhasil tanam cabai Rimbun di Kayu Aro ini pun menorehkan sebuah kisah berhasil dari petani setempat. Haji Samyono misalnya. Di desanya Lindung Jaya Kersik Tuo, Kayu Aro, Kerinci, Jambi, ia berhasil menanam cabai Rimbun seluas seperempat hektar. Dari lahan seluas itu tak tidak lebih dari 4.500 batang cabai Rimbun ia tanam. Setiap kali panen ia mampu memperoleh rata-rata 250 kg cabai segar ataupun per batangnya mampu menghasilkan 1,3 kg. “Semuanya bisa saya panen sampai 24 kali. Totalnya mencapai 6.000 kilogram,” terang bapak dari dua orang anak ini. Uang sebanyk Rp. 60 juta pun sukses dikantongi Samyono dari hasil penjualan cabai Rimbun itu. Dari itu sebuah kendaraan beroda empat Isuzu Panther mampu nangkring di garasi rumahnya. “Puas sekali rasanya bisa memanen Rimbun, saya akan menanam lebih luas lagi nantinya,” imbuhnya. Tak cuma Samyono, petani lain yng ada di Kayu Aro pun tidak sedikit yng sudah menikmati manisnya hasil “si keriting pedas” ini.
Petani Cabe Tapung Hulu Beromset Rp 1,2 M, Bikin Bupati Kampar Menangis Haru
Petani Cabe Tapung Hulu Beromset Rp 1,2 M Petani Cabe Tapung Hulu Beromset Rp 1,2 M TAPUNGHULU-Bisnis perladangan cabe di Desa Danau Lancang Kecamatan Tapung Hulu yng dibikin oleh enam kelompok tani alumni Program Pelatihan Pertanian Perdesaan Swadaya (P4S) Karya Nyata Kubang Jaya, berbuah manis. Uang bersih yng orang-orang raup dari bisnis ladang cabe di lahan seluas 3,5 hektar itu mencapai Rp 1,2 miliar. Itu hitungan hingga pertengahan Juni lalu. “Kami masih bisa panen lagi hingga pertengahan Agustus nanti. Minimal Rp 50 juta masih bisa kami peroleh,” cerita Muslim, salah seorang ketua kelompok tani dari enam kelompok itu, waktu berkunjung ke perkampungan teknologi Telo di Desa Muara Uwai Kecamatan Bangkinang, Senin (22/7/13). Bisa uang bergepok-gepok membikin kocek masing-masing ketua kelompok ini, Muslim, Prianto, Ali Usman, Sukirman, Ishak Hasibuan serta Ismail, menggelembung. Apa yng selama ini orang-orang dambakan, mampu orang-orang beli. Mulai dari pertapakan rumah, sepeda motor, kebun kelapa sawit sampai-sampai kendaraan beroda empat kinclong. “Kami tak pernah menyangka kejadiannya seperti ini. Sebab yang ada dalam benak kami sejak awal menanam cabe itu Januari lalu adalah merawat tanaman cabe itu supaya subur. Dan kami juga tak pernah membayangkan hasil panen bisa kami jual hingga Rp 40 ribu. Sebab dijual Rp 20 ribu saja perkilogram, untungnya sudah mantap,” kata Ali Usman. Berhasil berladang cabe di lahan 3,5 hektar tadi tidak membikin orang-orang terlena. Yng ada malahan, luasan lahan tanaman cabe tahap kedua, ditambah hampir dua kali lipat. “Lahan masih berstatus pinjam. Yang punya lahan tiga orang. Mereka juga ikutan bertanam cabe di lahan itu. Insya Allah, pada 15 Agustus nanti, kami sudah mulai menanam,” cerita Muslim. Modal bagi atau bisa juga dikatakan untuk lahan tahap dua ini kata Muslim tak lagi hasil utangan. Namun malahan uang yng disisikan dari hasil bertanam cabe tahap pertama itu. “Nilainya sekitar Rp 250 juta. Kelak di tahap tiga, kami akan membuka lahan cabe 8 hektar. Separuh dari lahan itu, punya kami,” katanya. Selain bagi atau bisa juga dikatakan untuk mendapatkan untung yng lebih besar, perluasan lahan cabe itu kata Muslim pun sekalian menambah luasan lapangan kerja, khususnya bagi ibu-ibu di kampung itu. Karena di tahap pertama saja kata Muslim, orang-orang sanggup menggaji sekitar 50 orang ibu-ibu. “Dan kalaupun lahan cabe makin luas, kami tak khawatir hasilnya akan dikemanakan. Sebab Riau masih sangat butuh cabe. Andai kami buka lahan 20 hektar pun, hasilnya masih kurang untuk membutuhi kebutuhan di Riau,” Muslim optimis. Berhasil enam kelompok tani ini sontak menyebar ke kampung danau Lancang, khususnya di dusun V, lokasi perladangan cabe itu. Tergiur hasil miliaran tadi membikin orang kampung rame-rame pengen menanam cabe juga. “Ada sekitar 30 orang yang datang ke kami. Mereka minta diajari cara bertanam cabe dan kemudian ingin diajak masuk kelompok,” cerita Ali Usman. Andai semakin hari anggota terus bertambah, Muslim serta rekan-rekan telah berencana membikin koperasi khusus petani cabe. “Biar lebih terarah. Khususnya soal teknis hingga manajemen keuangan,” Muslim beralasan. Mendengar kesuksesan para alumni P4S itu, Rahmad Jevary Juniardo mengaku salut, bangga sekalian terharu. “Ini adalah perolehan yang luar biasa dari alumni P4S. Gembelengan dan keseriusan mereka menjalani pelatihan, berbuah manis,” kata Ketua Gerakan Nasional Anti Narkotika (Granat) Kabupaten Kampar ini. Semisal saja generasi muda mau mencotoh apa yng di lakukan para petani tadi kata bendahara P4S ini, maka misi program zero kemiskinan yng diusung Pemkab Kampar, akan cepat terwujud serta misi Granat di Kampar pun akan terbantu. “Sebab bertani sebenarnya adalah pekerjaan mulia, persis seperti tradisi leluhur kita sejak jaman dulu,” katanya. Mata Bupati Kampar, Jefry Noer, malahan hingga berkaca-kaca era melihat enam ketua kelompok tani tadi datang bareng ke Perkampungan Teknologi Telo, pakai kendaraan beroda empat Xenia anyar, yng dibeli dari hasil panen cabe itu. “Saya salut, Pak Muslim sudah sanggup membeli mobil cash. Saya saja masih beli kredit,” kata Jefry. Ini dia hasil jerih payah yng dilandasi ketulusan serta keseriusan itu. “Mudah-mudahan saudara-saudaraku bisa menjadi motivator petani-petani lain di Kampar ini. Sebab misi zero kemiskinan, pengangguran dan rumah kumuh, adalah misi kita bersama, bukan misi seorang Jefry Noer,” pungkasnya. Bersama Kepala Badan Pelatihan Penyuluhan serta Ketahanan Pangan (BPPKP) Kampar, Aliman Makmur serta Kadis Pertanian serta Peternakan Kampar, Cokroaminoto, Jefry Noer serta enam petani itu foto bareng di kampung teknologi tadi. Wajah-wajah orang-orang Nampak ceria, seceria hati enam petani ini menanti masa tanam tahap kedua. (man)
Petani Cabai Berhasil Sekali Panen Mampu Beli Kendaraan beroda empat
Tondano, hampir setiap tahun selalu muncul cerita orang kaya baru di wilayah Kawangkoan, Tompaso, Langowan, Minahasa, Sulawesi utara. Cerita orang kaya baru ini bukan dari sosok pengusaha, melainkan dari keluarga petani. Dua komoditas pertanian yng membuat orang kaya tiba-tiba merupakan cabai serta tomat. Dari hasil bertani dua komoditas ini, puluhan keluarga sudah mendapatkan keuntungan sampai-sampai Rp 200 juta, cuma dalam sekali musim tanam. Rumah serta kendaraan beroda empat mampu yang dengannya gampang dibeli yang dengannya uang yang telah di sebutkan. Sebuah lahan pertanian seluas sekitar seperempat hektare di Langowan Barat, pernah menghasilkan uang sekitar Rp 150 juta. Uang sebanyk itu diperoleh cuma dalam waktu empat bulan. Rommy Mamesah, pemilik lahan itu bercerita, dirinya benar-benar mendapatkan rezeki yng Amat besar era menanam cabai pada pertengahan 2011. Kerja keras yng dilakukannya era itu terbayar lunas era beberapa pekan sebelum masa panen, harga cabai di pasar meningkat drastis. “Saat menentukan awal penanaman, saya tidak menyangka akan mendapat hasil yang besar seperti itu. Saya sangat bersemangat saat mengetahui harga cabai mulai naik. Tiga minggu sebelum panen, harga di pasaran sudah menyentuh Rp 30 ribu,” ujarnya. Kala itu, lanjutnya, nyaris sehari-hari harga cabai terus naik. Era tanaman cabainya dipanen pertama kali, harga jual mencapai Rp 70 riu per kilogram. Pada panen pertama, Rommy memetik sekitar 50 kilogram cabai. Pengertiannya, ia sukses meraup keuntungan Rp 3,5 juta. Uang ini sudah menutupi biaya perawatan tanaman sejak awal hingga panen pertama. Hasil yang telah di sebutkan cuma menjdai awal dari hasil yng lebih besar. Era itu, tidak sedikit pengumpul yng datang membeli cabainya. Awal mulanya, Rommy bercerita, ada pria dari Tomohon yng datang menawar cabainya seharga Rp 70 juta. Akan tetapi, tawaran yang telah di sebutkan ia tolak. Beberapa pengumpul lain pun datang serta menawar yang dengannya harga yng lebih tinggi. “Saya masih ingat saat itu hari Sabtu, ada pria dari Manado yang datang menawar cabai saya. Awalnya dia hanya menawar seharga Rp 120 juta. Namun, saya tetap menolak. Saya katakan akan melepas cabai saya jika dia berani membayar Rp 170 juta. Setelah tawar-menawar, akhirnya kami sepakat pada harga Rp 150 juta,” tuturnya. Prediksi Rommy tepat. Lantaran, sepekan lantas harga cabai menembus harga tertinggi, Rp 90 ribu per kilogram. Harga jual ini Amat tinggi, malah melebihi harga jual cengkeh era itu. “Saya dan keluarga sangat senang mendapat hasil seperti itu. Uang hasil penjualan cabai saya gunakan untuk membangun rumah,” tukasnya. Disaat Rommy pernah mendapatkan hasil yng spektakuler dari tanaman cabai, Masye Rumengan (36), warga Kawangkoan, malahan mengalami hal sebaliknya. Bisnis rumah makan yng menjual tinutuan, hampir bangkrut lantaran harga cabai yng tinggi. Masye nyaris kehilangan bisnis yng menopang perekonomian keluarganya. “Saya pernah sangat stres saat harga cabai mencapai Rp 90 ribu per kilogram. Bagaimana saya bisa berjualan dan mendapat keuntungan jika harga cabai seperti itu. Saya terpaksa menutup sementara usaha saya, karena modal membeli cabai lebih besar dibanding keuntungan. Tidak mungkin juga saya menjual tinutuan (bubur Manado) tanpa menyediakan dabu-dabu (sambal),” jelasnya. Hampir dua bulan, ibu keluarga ini menutup usahanya. Menjdai alternatif, dia terpaksa melakukan bisnis lain, yakni mencuci pakaian di rumah tetangga, agar mampu mendapatkan uang bagi atau bisa juga dikatakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Sesudah harga cabai dirasa cukup normal, Masye kembali menjalankan bisnis menjual bubur Manado. “Kondisi seperti itu selalu saya alami setiap tahun, karena pasti harga cabai akan naik. Namun, jika harga masih Rp 40 ribu per kilogram, saya masih bisa bertahan dan terus berjualan. Walau keuntungannya menjadi sedikit, setidaknya masih cukup untuk kebutuhan keluarga. Selain itu, saya harus terus menjaga pelanggan saya. Namun, kalau harga kembali naik sampai Rp 90 ribu per kilogram, saya pasti akan menutup sementara usaha saya,” bebernya. petanitop.blogspot.com
Sumber : http://goldenmotivasi.blogspot.co.id/2014/03/cerita-kisah-tentang-para-petani-cabe.html Sponsored Links loading... Loading... .

Source Articles & Image : petanitop.blogspot.com

Seputar Kisah Sukses Para Petani Cabe – Meretas Emas dari Si Pedas

Advertisement
 

Cari Artikel Selain Kisah Sukses Para Petani Cabe – Meretas Emas dari Si Pedas