Petani Kita ini Pintar dan Kreatif Hanya Butuh Dukungan Untuk Maju
Petani Kita ini Pintar dan Kreatif Hanya Butuh Dukungan Untuk Maju | Referensi terbaru di 2017 via web Cara Menanam. Rekomendasi konten lengkap terbaik. - Cara Menanam. Artikel ini di beri judul Petani Kita ini Pintar dan Kreatif Hanya Butuh Dukungan Untuk Maju. Konten ini untuk anda pembaca setia https://caramenanamkebun.blogspot.com/. Bagikan juga postingan Petani Kita ini Pintar dan Kreatif Hanya Butuh Dukungan Untuk Maju terbaru ini ke media kalian. Supaya blog seputar Cara Menanam dan website terkait serta kamu mendapat manfaat dari info ulasan Cara Menanam di 2017 ini. Langsung saja baca dan simak mengenai Petani Kita ini Pintar dan Kreatif Hanya Butuh Dukungan Untuk Maju di bawah ini dari situs web Cara Menanam.. . Terik matahari begitu menyengat. Sinarnya menyorot tubuh sekelompok laki-laki serta perempuan. Orang-orang tidak lagi muda.
Di tengah sawah yng telah disulap menjadi ladang jagung, orang-orang sibuk bekerja. Pakaiannya pun ala kadarnya. Caping serta topi di kepala, cukup bagi atau bisa juga dikatakan untuk menjaga cuaca panas siang itu.
Di sisi kiri ataupun kanan orang-orang tampak onggokan jagung yng telah dimasukkan dalam karung. Sesekali, terdengar gelak tawa dari arah orang-orang. Ada keriangan.
Ya, orang-orang merupakan para buruh tani yng sedang memanen jagung milik tetangganya. Ansori (40) di antaranya. Warga Desa Talangsuko, Kecamatan Turen, Kabupaten Malang, Jawa Timur ini ikut bermandi keringat demi anak istri.
Ansori sebetulnya mempunyai sawah seluas 2.000 meter persegi. Akan tetapi, lahan itu tidak cukup bagi atau bisa juga dikatakan untuk menghidupi anak istrinya sehari-hari. “Sekarang, satu hektare tebu hasilnya sedikit. Lebih banyak menanam jagung. Apalagi jagung proyek, sudah pasti terbeli dan hasil tanamnya juga sedang bagus,” ujar Ansori
Pria berkulit legam ini menguasai seluk beluk pertanian. Sejak duduk di bangku SMP, ia Suka membantu orang tuanya bertani. Dari orang tuanya juga, ia mendapatkan warisan sawah seluas 2.000 meter persegi yang telah di sebutkan.
Meski, hasil panennya selalu ludes lantaran Perlu dibagi yang dengannya dua saudara serta orang tuanya. “Setiap panen saya bisa dapat lima sak (kantong). Ya, lumayan untuk dimakan sendiri tiga bulan,” ujar ayah empat anak ini.
Di antara tiga bersaudara, cuma Ansori yng tertarik menekuni profesi menjdai petani. Dua saudaranya memilih menjadi buruh di industri material bangunan. Bagi Ansori, bertani jauh lebih gampang serta mengasyikkan dibanding bekerja bidang lain yng tidak ia mengerti.
Meskipun, hasil panen tidak cukup menghidupi empat anak serta istrinya. “Sekali panen bisa dapat 1,5 ton, dipotong biaya pupuk dan buruh panen Rp1,5 juta. Rata-rata bisa dapat Rp3 juta hingga Rp4 juta," Ansori menjelaskan. "Kalau dibagi berempat, ya sangat tidak cukup untuk hidup empat bulan. Jadi beras panen tidak dijual, buat dimakan sendiri saja,” ujarnya.
Bagi atau bisa juga dikatakan untuk menutup delapan bulan selanjutnya, ia Perlu bekerja, menjadi buruh tani di lahan orang. Anak-anak Ansori tidak tertarik mengikuti jejaknya. “Anak yang pertama umur 19 tahun. Dia tak mau jadi petani. Ya, saya tidak bisa maksa. Dia kerja jadi buruh di pabrik paving,” katanya.
Pendapat dari dia, kerja di pabrik, upah yng diterima lumayan besar. Upah diberikan per hari plus libur sehari dalam sepekan.
“Kalau tani dapatnya empat bulan sekali. Tapi, tidak ada libur. Kerja di ladang orang, biar dapurnya bisa masak nasi dan lauknya setiap hari,” ujar pria yng cuma lulus SMP ini.
Ansori tidak sendiri. Ada sekitar 125 petani yng tergabung dalam Kelompok Tani Sari Tani di desanya yng bernasib percis. Orang-orang cuma petani gurem yng mempunyai lahan di bawah satu hektare.
Ketua Kelompok Tani Sari Tani Ahmad mengatakan, makin kecil lahan makin tidak banyak keuntungan yng didapat. Akibatnya, tidak sedikit petani yng memilih menyewakan lahan yng cuma sepetak daripada menggarap sendiri lantaran biaya operasional tidak sesuai yang dengannya pendapatan.
“Pupuknya mahal dan selalu naik. Biaya obat kalau ada hama. Beli bibit juga mahal. Biaya buruh tani untuk panen juga tak sedikit. Belum kalau salah tanam dan cuacanya tak sesuai, bisa rugi karena rusak dan hama. Sedangkan harga gabah dan jagung seperti itu saja,” Sejumlah wanita anggota Kelompok Tani Sari Tani Desa Talangsuko sedang bekerja di ladang jagung (Foto: VIVAnews/Dyah Ayu Pitaloka)
Krisis Petani
Nasib yng dialami para petani di Kabupaten Malang adalah kejadian jamak yng sedang terlaksana di sejumlah daerah di Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) mengakui, hasil sensus pertanian yng di lakukan pada 2013 menyebutkan, terlaksana penurunan yng signifikan terkait populasi petani di Indonesia.
Deputi Bidang Statistik Produksi BPS, Adi Lumaksono, mengatakan, sepuluh tahun yang terakhir Indonesia mengalami penurunan jumlah petani Amat drastis, mencapai 16 % yaitu dari 31, 23 juta menjadi 26,14 juta orang.
“Lebih banyak pada petani-petani gurem dengan penguasaan lahan 5.000 meter persegi. Petani kecil semakin berkurang,” ujar penanggung jawab nasional Sensus Pertanian 2013
Koalisi Rakyat bagi atau bisa juga dikatakan untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) menyatakan, era ini Indonesia mengalami krisis petani. Manajer Advokasi KRKP, Said Abdullah, menyodorkan data berbeda. Pendapat dari dia, pada 2013 jumlah petani Indonesia cuma sekitar 14.248.864 orang. Padahal sepuluh tahun lalu jumlahnya masih sekitar 30.419.582.
Dari jumlah itu, cuma 12 % yng berusia di bawah 35 tahun. “Yang 12 persen itu lebih banyak di olahan, distribusi, dan marketing bukan di produksi atau lahan,” ujarnya kepadaVIVAnews pada Selasa, 4 November 2014.
Said mengatakan, andai pemerintah tidak serius menangani masalah ini, Indonesia mampu mengalami krisis petani, lantaran tidak ada regenerasi. Dalam jangka panjang, kondisi yang telah di sebutkan mampu memicu terjadinya krisis pangan.
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menuding, meluasnya konversi lahan menjadi penyebab utama larinya para petani dari sawahnya. Hal itu diperparah yang dengannya tak dilaksanakannya reforma agraria.
Sekjen KPA Iwan Nurdin mengatakan, tiap hari sekitar lima ribu petani meninggalkan profesinya. Orang-orang lari ke kota serta terpaksa menjadi kuli, buruh migran ataupun sektor informal yng lain. Pendapat dari dia, petani meninggalkan pekerjaannya lantaran pertanian tidak lagi menarik. Pertanian tidak lagi menguntungkan.
Sementara itu, subsidi kecil serta insentif tak tepat sasaran. Akibatnya, petani tak menjadi profesi yng diminati.
Pendapat senada disampaikan Henry Saragih. Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) itu mengatakan, selama sepuluh tahun yang terakhir pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, ada lima juta kepala keluarga petani yng tersingki,r lantaran tidak sanggup lagi mengurus pertaniannya.
Ia menilai, kondisi itu terlaksana lantaran lahan yng dimiliki petani makin menyempit. Selain itu, petani tidak mendapatkan dukungan subsidi yng memadai. Petani pun tidak sanggup bersaing yang dengannya impor produk pangan yng begitu besar.
Henry mengatakan, pemerintah keliru membangun seni manajemen pertanian pada periode lalu, lantaran cuma mendorong ekspor hasil perkebunan kelapa sawit, cokelat, serta karet. Pemerintah dinilai mengabaikan pertanian guna membangun ekonomi nasional serta kebutuhan pangan.
Akibatnya, anak muda salah satunya sarjana pertanian tidak tertarik menjadi petani. “Karena itulah saudara-saudara kita yang alumni IPB lebih tertarik bekerja di bank daripada mengurus pertanian,” ujarnya kepada VIVAnews, Rabu 5 November 2014.
Tak adanya perhatian dari pemerintah yng serius mengenai janji revitalisasi pertanian maupun reformasi agraria, menjadikan profesi petani tak menarik. Rendahnya keuntungan bisnis di sektor pertanian menjadi penyebab keengganan anak muda bergelut di sektor pertanian.
Kepala Bagian Evaluasi serta Pelaporan Badan Penyuluhan serta Pengembangan Sumber Daya Kita-kita Pertanian, Kementerian Pertanian, Supriyadi, mengatakan, krisis petani terlaksana bukan cuma di Indonesia, melainkan di seluruh mancanegara.
Ia mengakui, bukan hal gampang membuat generasi muda tertarik menjadi petani. "Kan kita tidak dapat memaksa orang untuk menjadi petani," ujarnya membela diri.
Dia menjelaskan, banyaknya petani yng berpindah ke sektor perkebunan menjadi satu dari sekian banyaknya penyebab berkurangnya petani lahan ataupun petani yng menanam tanaman pangan. Karena, pendapatan dari hasil berkebun lebih besar dari pendapatan hasil bertani.
"Sekarang saja, kalau nyangkul dari pagi sampai sore paling dapat sekitar Rp40.000-50.000. Mereka (petani) lebih memilih berkebun seperti kelapa sawit dan sebagainya karena pendapatannya lebih besar," ujarnya.
Ia mengklaim, selama ini pemerintah telah memperhatikan petani semisal memberikan subsidi pupuk serta benih ataupun bantuan sosial lain. Akan tetapi, ia mengakui program itu tak efektif terkait yang dengannya pendistribusian yng rawan yang dengannya kebocoran ataupun penyalahgunaan.
"Jadi menurut saya, beli saja beras dari petani kita dengan harga mahal, lalu dijual murah kepada masyarakat agar petani kita ada semangat menanam. Sebab krisis petani pasti berdampak pada kecukupan pangan," tuturnya.
Ancaman Krisis Pangan
Didasari catatan Organisasi Pangan serta Pertanian (FAO), sekitar satu miliar orang terancam kelaparan. Di sejumlah negara maju, dua sampai-sampai empat % penduduknya mampu memproduksi makanan bagi atau bisa juga dikatakan untuk seluruh warga, malah mengekspornya. Akan tetapi, di sejumlah negara berkembang, 60 hingga 80 % penduduknya tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan bagi atau bisa juga dikatakan untuk warganya.
Data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menyebutkan, pada 2015 jumlah penduduk Indonesia akan mencapai 243 juta jiwa. Yang dengannya konsumsi beras per kapita per tahun 139 kilogram, dibutuhkan beras 33,78 juta ton.
Pada 2030, kebutuhan beras bagi atau bisa juga dikatakan untuk pangan akan mencapai 59 juta ton bagi atau bisa juga dikatakan untuk jumlah penduduk yng diperkirakan 425 juta jiwa. Itu pengertiannya, Indonesia berisiko mengalami krisis pangan pada 2025.
Bagi atau bisa juga dikatakan untuk itu, BPS merekomendasikan agar pemerintah menaikan produksi pangan. Lantaran, pertumbuhan jumlah penduduk mengikuti deret ukur. Sementara itu, peningkatan produksi pangan mengikuti deret hitung.
Selain itu, pusat produksi pangan cuma ada di daerah tertentu. Sementara itu, wilayah lain pun butuh makanan, akan tetapi ongkos distribusi pangan tidak murah. Kondisi itu akan diperparah andai krisis petani tidak segera diatasi.
Henry Saragih mengatakan, andai lahan pertanian makin sempit, lapangan pekerjaan akan makin sulit. Pengangguran serta arus urbanisasi akan besar. “Kita akan tergantung impor pangan dan devisa kita akan terkuras. Ini alarm tanda bahaya,” ujarnya.
Kementerian Perdagangan mengakui ada peningkatan impor komoditas pangan. Kemendag mencatat, impor pertanian pada periode 2009-2013 meningkat 16,04 % secara nilai. Sementara itu, secara volume, impor tercatat tumbuh rata-rata 12,43 %.
Bersumber dari data Kemendag, nilai impor pertanian pada 2009 senilai US$4,752 miliar serta naik menjadi US$6,187 miliar pada 2010. Pada 2011, nilai impor turun menjadi US$9,395 miliar serta ini yng tertinggi selama periode yang telah di sebutkan. Lalu, impor produk pertanian turun menjadi US$8,256 miliar pada 2012 serta naik lagi menjadi US$8,657 miliar.
Bagi atau bisa juga dikatakan untuk periode Januari-Agustus 2014 tercatat nilai impor senilai US$6,356 miliar serta meningkat 9,9 % dibandingkan periode Januari-Agustus 2013 yng mencapai US$5,783 miliar.
Dari segi volume rata-rata tercatat tumbuh 12,43 % selama 2009-2013. Pada 2009, volume impor pertanian mencapai 8,925 juta ton, 10,955 juta ton pada 2010, serta 14,122 juta ton pada 2011. Pada 2012, volume impornya turun menjadi 12,955 juta ton, serta naik kembali menjadi 14,722 juta ton pada 2013.
Bagi atau bisa juga dikatakan untuk periode Januari-Agustus 2014 tercatat volume impor sebanyk 10,576 juta ton serta tumbuh 11,17 % dari periode yng percis tahun sebelumnya yng mencapai 9,514 juta ton. Buruh tani sedang membajak lahan padi yang dengannya traktor (Foto: VIVAnews/Dyah Ayu Pitaloka)
Mimpi Kedaulatan Pangan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Andrinof Chaniago mengatakan, pemerintah akan menaikan jumlah petani yng mempunyai lahan. Pemerintah akan memaksimalkan lahan yng ada bagi atau bisa juga dikatakan untuk pertanian, salah satunya lahan di daerah hutan.
Ia mengatakan, selama ini pertanian tak menarik serta cenderung ditinggalkan orang lantaran Indonesia tidak lebih gigih mengendalikan pupuk serta menaikan produksi benih. Pun tidak lebih serius memperbaiki irigasi.
Andrinof berjanji, guna menaikan kesejahteraan petani, pemerintah akan memberikan hak kelola lahan bagi petani yng tak punya lahan ataupun yng selama ini cuma jadi buruh. Upaya itu di lakukan bagi atau bisa juga dikatakan untuk menaikan produktivitas.
“Petani kita sebenarnya tidak butuh peningkatan kualitas dan kemampuan. Mereka banyak yang lebih pintar dari sarjana pertanian. Masalah mereka adalah pupuk dan benih serta lemah di pemasaran,” ujarnya
Pemerintah menargetkan 1 juta hektare lahan baru. Selain itu, ada target membangun irigasi serta bendungan dan memberi jaminan ketersediaan pupuk dalam jumlah serta waktu. Yang dengannya itu, swasembada pangan ditargetkan tercapai dalam tiga tahun.
Selanjutnya, swasembada dalam pengertian ketersediaan cadangan dalam sekian bulan. Komoditas yng akan digenjot di antaranya padi, jagung, serta kedelai dan daging. Pemerintah akan mendorong serta memajukan daerah sentra-sentra peternakan.
Pemerintah pun yakin akan mampu melakukan regenerasi petani. Supriyadi mengatakan, Kementan sudah mengadakan program regenerasi petani di Indonesia yang dengannya mengirim 30-60 anak bangsa bagi atau bisa juga dikatakan untuk belajar yang dengannya konsep magang di Jepang.
Orang-orang difasilitasi serta dibiayai bagi atau bisa juga dikatakan untuk persiapan jadi petani dan belajar ilmu pertanian di Negeri Sakura itu. "Kami kirim pemuda ke luar negeri, semisal ke Jepang. Balik lagi ke sini jadi petani serta buka outlet yng ada kaitannya yang dengannya pertanian,” ujarnya.
Para pemuda yng dikirim ke Jepang akan menjadi petani muda yng kompeten guna mengembangkan pertanian di Indonesia. Pendapat dari Supriyadi, yang dengannya penyuluhan serta pelatihan akan membuat petani lebih mempunyai kualitas serta berkompeten. "Bagi atau bisa juga dikatakan untuk mengganti tenaga petani itu, kami rubah yang dengannya petani berdasi," tuturnya.
Kemendag pun berjanji akan memproteksi produk pertanian lokal dari produk pertanian impor. Di antaranya yang dengannya menetapkan harga rujukan bagi atau bisa juga dikatakan untuk produk hortikultura. "Pengendalian impor melalui penetapan harga rujukan produk hortikultura," kata Menteri Perdagangan,
Produk hortikultura yng akan dikenai harga rujukan merupakan cabai merah besar/keriting sebesar Rp26.300 per kilogram, cabai rawit merah Rp28.000 per kg, serta bawang merah Rp25.700 per kg. Kalau harga di bawah harga rujukan, keran impor akan ditutup.
Sebaliknya, kalau harga bahan pangan itu di atas harga rujukan, produk pertanian impor akan dibuka bagi atau bisa juga dikatakan untuk menekan tingginya harga pangan. Pemerintah pun memberikan batas pintu masuk impor.
Tidak cuma itu, pemerintah pun akan menerapkan bea masuk produk impor pertanian rata-rata 5 %. Tarif tertingginya berkisar 10-15 %. Kemendag mengakui, ada produk pertanian yng sebetulnya diproduksi di dalam negeri, diimpor pemerintah, misalnya beras, jagung, serta cabai. Tujuannya, guna memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Sementara itu, SPI menagih Presiden Joko Widodo memenuhi janjinya melaksanakan reforma agraria serta menyelesaikan konflik pertanahan. Pendapat dari Henry, Jokowi berjanji akan mendistribusikan tanah 9,6 juta hektare bagi atau bisa juga dikatakan untuk 4,5 juta kepala keluarga petani. Itu Perlu di lakukan bagi atau bisa juga dikatakan untuk membangun kedaulatan pangan.
Selain ketersediaan lahan, SPI pun mendesak agar Jokowi menyediakan pupuk serta mendirikan bank petani. SPI pun meminta ada pembatasan impor pangan. Pemerintah tidak boleh impor selagi komoditas itu mampu diproduksi di Indonesia.
“Jika reforma agraria dijalankan, tanah diberikan kepada petani, bank petani dibangun, penyediaan benih, pupuk, pasar rakyat dikembangkan dan pembatasan terhadap impor pangan dijalankan, kita yakin pertanian akan menjadi daya tarik,” ujarnya.
Sementara itu, KRKP meminta agar pemerintah menjadikan pertanian lebih menguntungkan. Bagi atau bisa juga dikatakan untuk itu, pemerintah Perlu memberikan batas konversi lahan serta memprioritaskan lahan subur bagi atau bisa juga dikatakan untuk pertanian.
Selain itu, Perlu ada insentif bagi petani. Pemerintah Perlu memastikan orang yng akan menjadi petani mempunyai lahan. Lantaran, sebetulnya tidak sedikit yng ingin menjadi petani, akan tetapi tidak mempunyai lahan. Selain itu, pemerintah Perlu memberikan dukungan teknologi yng ramah bagi atau bisa juga dikatakan untuk anak muda.
Hari beranjak siang. Jam di tangan telah menunjukan angka 12.00. Ansori pun kembali turun ke ladang, melanjutkan pekerjaan panen jagung milik orang. Ia cuma berharap, lahan sepetak miliknya tidak tergadaikan bagi atau bisa juga dikatakan untuk memenuhi tuntutan perut. Meski dia tak tahu hingga kapan mampu bertahan, mengolah sawah warisan orang tuanya.
Anak sulungnya tidak mau berkeringat, berpeluh, serta bergumul lumpur lantaran mencangkul di sawah. Harapannya cuma bertumpu pada anak bungsunya yng masih berumur enam tahun. Meski dia tidak ingin memaksakan anaknya mengikuti jejaknya.
“Ya terserah mau jadi apa, tapi kalau dilihat anaknya serabutan sepertinya bisa jadi tani. Daripada jadi buruh lain, sama-sama serabutan lebih baik jadi tani,” ujarnya. (art)
Sumber : http://sorot.news.viva.co.id/news/read/556006-krisis-petani-di-negeri-agraris Sponsored Links loading... Loading... .
Source Articles & Image : petanitop.blogspot.com
Di tengah sawah yng telah disulap menjadi ladang jagung, orang-orang sibuk bekerja. Pakaiannya pun ala kadarnya. Caping serta topi di kepala, cukup bagi atau bisa juga dikatakan untuk menjaga cuaca panas siang itu.
Di sisi kiri ataupun kanan orang-orang tampak onggokan jagung yng telah dimasukkan dalam karung. Sesekali, terdengar gelak tawa dari arah orang-orang. Ada keriangan.
Ya, orang-orang merupakan para buruh tani yng sedang memanen jagung milik tetangganya. Ansori (40) di antaranya. Warga Desa Talangsuko, Kecamatan Turen, Kabupaten Malang, Jawa Timur ini ikut bermandi keringat demi anak istri.
Ansori sebetulnya mempunyai sawah seluas 2.000 meter persegi. Akan tetapi, lahan itu tidak cukup bagi atau bisa juga dikatakan untuk menghidupi anak istrinya sehari-hari. “Sekarang, satu hektare tebu hasilnya sedikit. Lebih banyak menanam jagung. Apalagi jagung proyek, sudah pasti terbeli dan hasil tanamnya juga sedang bagus,” ujar Ansori
Pria berkulit legam ini menguasai seluk beluk pertanian. Sejak duduk di bangku SMP, ia Suka membantu orang tuanya bertani. Dari orang tuanya juga, ia mendapatkan warisan sawah seluas 2.000 meter persegi yang telah di sebutkan.
Meski, hasil panennya selalu ludes lantaran Perlu dibagi yang dengannya dua saudara serta orang tuanya. “Setiap panen saya bisa dapat lima sak (kantong). Ya, lumayan untuk dimakan sendiri tiga bulan,” ujar ayah empat anak ini.
Di antara tiga bersaudara, cuma Ansori yng tertarik menekuni profesi menjdai petani. Dua saudaranya memilih menjadi buruh di industri material bangunan. Bagi Ansori, bertani jauh lebih gampang serta mengasyikkan dibanding bekerja bidang lain yng tidak ia mengerti.
Meskipun, hasil panen tidak cukup menghidupi empat anak serta istrinya. “Sekali panen bisa dapat 1,5 ton, dipotong biaya pupuk dan buruh panen Rp1,5 juta. Rata-rata bisa dapat Rp3 juta hingga Rp4 juta," Ansori menjelaskan. "Kalau dibagi berempat, ya sangat tidak cukup untuk hidup empat bulan. Jadi beras panen tidak dijual, buat dimakan sendiri saja,” ujarnya.
Bagi atau bisa juga dikatakan untuk menutup delapan bulan selanjutnya, ia Perlu bekerja, menjadi buruh tani di lahan orang. Anak-anak Ansori tidak tertarik mengikuti jejaknya. “Anak yang pertama umur 19 tahun. Dia tak mau jadi petani. Ya, saya tidak bisa maksa. Dia kerja jadi buruh di pabrik paving,” katanya.
Pendapat dari dia, kerja di pabrik, upah yng diterima lumayan besar. Upah diberikan per hari plus libur sehari dalam sepekan.
“Kalau tani dapatnya empat bulan sekali. Tapi, tidak ada libur. Kerja di ladang orang, biar dapurnya bisa masak nasi dan lauknya setiap hari,” ujar pria yng cuma lulus SMP ini.
Ansori tidak sendiri. Ada sekitar 125 petani yng tergabung dalam Kelompok Tani Sari Tani di desanya yng bernasib percis. Orang-orang cuma petani gurem yng mempunyai lahan di bawah satu hektare.
Ketua Kelompok Tani Sari Tani Ahmad mengatakan, makin kecil lahan makin tidak banyak keuntungan yng didapat. Akibatnya, tidak sedikit petani yng memilih menyewakan lahan yng cuma sepetak daripada menggarap sendiri lantaran biaya operasional tidak sesuai yang dengannya pendapatan.
“Pupuknya mahal dan selalu naik. Biaya obat kalau ada hama. Beli bibit juga mahal. Biaya buruh tani untuk panen juga tak sedikit. Belum kalau salah tanam dan cuacanya tak sesuai, bisa rugi karena rusak dan hama. Sedangkan harga gabah dan jagung seperti itu saja,” Sejumlah wanita anggota Kelompok Tani Sari Tani Desa Talangsuko sedang bekerja di ladang jagung (Foto: VIVAnews/Dyah Ayu Pitaloka)
Krisis Petani
Nasib yng dialami para petani di Kabupaten Malang adalah kejadian jamak yng sedang terlaksana di sejumlah daerah di Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) mengakui, hasil sensus pertanian yng di lakukan pada 2013 menyebutkan, terlaksana penurunan yng signifikan terkait populasi petani di Indonesia.
Deputi Bidang Statistik Produksi BPS, Adi Lumaksono, mengatakan, sepuluh tahun yang terakhir Indonesia mengalami penurunan jumlah petani Amat drastis, mencapai 16 % yaitu dari 31, 23 juta menjadi 26,14 juta orang.
“Lebih banyak pada petani-petani gurem dengan penguasaan lahan 5.000 meter persegi. Petani kecil semakin berkurang,” ujar penanggung jawab nasional Sensus Pertanian 2013
Koalisi Rakyat bagi atau bisa juga dikatakan untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) menyatakan, era ini Indonesia mengalami krisis petani. Manajer Advokasi KRKP, Said Abdullah, menyodorkan data berbeda. Pendapat dari dia, pada 2013 jumlah petani Indonesia cuma sekitar 14.248.864 orang. Padahal sepuluh tahun lalu jumlahnya masih sekitar 30.419.582.
Dari jumlah itu, cuma 12 % yng berusia di bawah 35 tahun. “Yang 12 persen itu lebih banyak di olahan, distribusi, dan marketing bukan di produksi atau lahan,” ujarnya kepadaVIVAnews pada Selasa, 4 November 2014.
Said mengatakan, andai pemerintah tidak serius menangani masalah ini, Indonesia mampu mengalami krisis petani, lantaran tidak ada regenerasi. Dalam jangka panjang, kondisi yang telah di sebutkan mampu memicu terjadinya krisis pangan.
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menuding, meluasnya konversi lahan menjadi penyebab utama larinya para petani dari sawahnya. Hal itu diperparah yang dengannya tak dilaksanakannya reforma agraria.
Sekjen KPA Iwan Nurdin mengatakan, tiap hari sekitar lima ribu petani meninggalkan profesinya. Orang-orang lari ke kota serta terpaksa menjadi kuli, buruh migran ataupun sektor informal yng lain. Pendapat dari dia, petani meninggalkan pekerjaannya lantaran pertanian tidak lagi menarik. Pertanian tidak lagi menguntungkan.
Sementara itu, subsidi kecil serta insentif tak tepat sasaran. Akibatnya, petani tak menjadi profesi yng diminati.
Pendapat senada disampaikan Henry Saragih. Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) itu mengatakan, selama sepuluh tahun yang terakhir pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, ada lima juta kepala keluarga petani yng tersingki,r lantaran tidak sanggup lagi mengurus pertaniannya.
Ia menilai, kondisi itu terlaksana lantaran lahan yng dimiliki petani makin menyempit. Selain itu, petani tidak mendapatkan dukungan subsidi yng memadai. Petani pun tidak sanggup bersaing yang dengannya impor produk pangan yng begitu besar.
Henry mengatakan, pemerintah keliru membangun seni manajemen pertanian pada periode lalu, lantaran cuma mendorong ekspor hasil perkebunan kelapa sawit, cokelat, serta karet. Pemerintah dinilai mengabaikan pertanian guna membangun ekonomi nasional serta kebutuhan pangan.
Akibatnya, anak muda salah satunya sarjana pertanian tidak tertarik menjadi petani. “Karena itulah saudara-saudara kita yang alumni IPB lebih tertarik bekerja di bank daripada mengurus pertanian,” ujarnya kepada VIVAnews, Rabu 5 November 2014.
Tak adanya perhatian dari pemerintah yng serius mengenai janji revitalisasi pertanian maupun reformasi agraria, menjadikan profesi petani tak menarik. Rendahnya keuntungan bisnis di sektor pertanian menjadi penyebab keengganan anak muda bergelut di sektor pertanian.
Kepala Bagian Evaluasi serta Pelaporan Badan Penyuluhan serta Pengembangan Sumber Daya Kita-kita Pertanian, Kementerian Pertanian, Supriyadi, mengatakan, krisis petani terlaksana bukan cuma di Indonesia, melainkan di seluruh mancanegara.
Ia mengakui, bukan hal gampang membuat generasi muda tertarik menjadi petani. "Kan kita tidak dapat memaksa orang untuk menjadi petani," ujarnya membela diri.
Dia menjelaskan, banyaknya petani yng berpindah ke sektor perkebunan menjadi satu dari sekian banyaknya penyebab berkurangnya petani lahan ataupun petani yng menanam tanaman pangan. Karena, pendapatan dari hasil berkebun lebih besar dari pendapatan hasil bertani.
"Sekarang saja, kalau nyangkul dari pagi sampai sore paling dapat sekitar Rp40.000-50.000. Mereka (petani) lebih memilih berkebun seperti kelapa sawit dan sebagainya karena pendapatannya lebih besar," ujarnya.
Ia mengklaim, selama ini pemerintah telah memperhatikan petani semisal memberikan subsidi pupuk serta benih ataupun bantuan sosial lain. Akan tetapi, ia mengakui program itu tak efektif terkait yang dengannya pendistribusian yng rawan yang dengannya kebocoran ataupun penyalahgunaan.
"Jadi menurut saya, beli saja beras dari petani kita dengan harga mahal, lalu dijual murah kepada masyarakat agar petani kita ada semangat menanam. Sebab krisis petani pasti berdampak pada kecukupan pangan," tuturnya.
Ancaman Krisis Pangan
Didasari catatan Organisasi Pangan serta Pertanian (FAO), sekitar satu miliar orang terancam kelaparan. Di sejumlah negara maju, dua sampai-sampai empat % penduduknya mampu memproduksi makanan bagi atau bisa juga dikatakan untuk seluruh warga, malah mengekspornya. Akan tetapi, di sejumlah negara berkembang, 60 hingga 80 % penduduknya tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan bagi atau bisa juga dikatakan untuk warganya.
Data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menyebutkan, pada 2015 jumlah penduduk Indonesia akan mencapai 243 juta jiwa. Yang dengannya konsumsi beras per kapita per tahun 139 kilogram, dibutuhkan beras 33,78 juta ton.
Pada 2030, kebutuhan beras bagi atau bisa juga dikatakan untuk pangan akan mencapai 59 juta ton bagi atau bisa juga dikatakan untuk jumlah penduduk yng diperkirakan 425 juta jiwa. Itu pengertiannya, Indonesia berisiko mengalami krisis pangan pada 2025.
Bagi atau bisa juga dikatakan untuk itu, BPS merekomendasikan agar pemerintah menaikan produksi pangan. Lantaran, pertumbuhan jumlah penduduk mengikuti deret ukur. Sementara itu, peningkatan produksi pangan mengikuti deret hitung.
Selain itu, pusat produksi pangan cuma ada di daerah tertentu. Sementara itu, wilayah lain pun butuh makanan, akan tetapi ongkos distribusi pangan tidak murah. Kondisi itu akan diperparah andai krisis petani tidak segera diatasi.
Henry Saragih mengatakan, andai lahan pertanian makin sempit, lapangan pekerjaan akan makin sulit. Pengangguran serta arus urbanisasi akan besar. “Kita akan tergantung impor pangan dan devisa kita akan terkuras. Ini alarm tanda bahaya,” ujarnya.
Kementerian Perdagangan mengakui ada peningkatan impor komoditas pangan. Kemendag mencatat, impor pertanian pada periode 2009-2013 meningkat 16,04 % secara nilai. Sementara itu, secara volume, impor tercatat tumbuh rata-rata 12,43 %.
Bersumber dari data Kemendag, nilai impor pertanian pada 2009 senilai US$4,752 miliar serta naik menjadi US$6,187 miliar pada 2010. Pada 2011, nilai impor turun menjadi US$9,395 miliar serta ini yng tertinggi selama periode yang telah di sebutkan. Lalu, impor produk pertanian turun menjadi US$8,256 miliar pada 2012 serta naik lagi menjadi US$8,657 miliar.
Bagi atau bisa juga dikatakan untuk periode Januari-Agustus 2014 tercatat nilai impor senilai US$6,356 miliar serta meningkat 9,9 % dibandingkan periode Januari-Agustus 2013 yng mencapai US$5,783 miliar.
Dari segi volume rata-rata tercatat tumbuh 12,43 % selama 2009-2013. Pada 2009, volume impor pertanian mencapai 8,925 juta ton, 10,955 juta ton pada 2010, serta 14,122 juta ton pada 2011. Pada 2012, volume impornya turun menjadi 12,955 juta ton, serta naik kembali menjadi 14,722 juta ton pada 2013.
Bagi atau bisa juga dikatakan untuk periode Januari-Agustus 2014 tercatat volume impor sebanyk 10,576 juta ton serta tumbuh 11,17 % dari periode yng percis tahun sebelumnya yng mencapai 9,514 juta ton. Buruh tani sedang membajak lahan padi yang dengannya traktor (Foto: VIVAnews/Dyah Ayu Pitaloka)
Mimpi Kedaulatan Pangan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Andrinof Chaniago mengatakan, pemerintah akan menaikan jumlah petani yng mempunyai lahan. Pemerintah akan memaksimalkan lahan yng ada bagi atau bisa juga dikatakan untuk pertanian, salah satunya lahan di daerah hutan.
Ia mengatakan, selama ini pertanian tak menarik serta cenderung ditinggalkan orang lantaran Indonesia tidak lebih gigih mengendalikan pupuk serta menaikan produksi benih. Pun tidak lebih serius memperbaiki irigasi.
Andrinof berjanji, guna menaikan kesejahteraan petani, pemerintah akan memberikan hak kelola lahan bagi petani yng tak punya lahan ataupun yng selama ini cuma jadi buruh. Upaya itu di lakukan bagi atau bisa juga dikatakan untuk menaikan produktivitas.
“Petani kita sebenarnya tidak butuh peningkatan kualitas dan kemampuan. Mereka banyak yang lebih pintar dari sarjana pertanian. Masalah mereka adalah pupuk dan benih serta lemah di pemasaran,” ujarnya
Pemerintah menargetkan 1 juta hektare lahan baru. Selain itu, ada target membangun irigasi serta bendungan dan memberi jaminan ketersediaan pupuk dalam jumlah serta waktu. Yang dengannya itu, swasembada pangan ditargetkan tercapai dalam tiga tahun.
Selanjutnya, swasembada dalam pengertian ketersediaan cadangan dalam sekian bulan. Komoditas yng akan digenjot di antaranya padi, jagung, serta kedelai dan daging. Pemerintah akan mendorong serta memajukan daerah sentra-sentra peternakan.
Pemerintah pun yakin akan mampu melakukan regenerasi petani. Supriyadi mengatakan, Kementan sudah mengadakan program regenerasi petani di Indonesia yang dengannya mengirim 30-60 anak bangsa bagi atau bisa juga dikatakan untuk belajar yang dengannya konsep magang di Jepang.
Orang-orang difasilitasi serta dibiayai bagi atau bisa juga dikatakan untuk persiapan jadi petani dan belajar ilmu pertanian di Negeri Sakura itu. "Kami kirim pemuda ke luar negeri, semisal ke Jepang. Balik lagi ke sini jadi petani serta buka outlet yng ada kaitannya yang dengannya pertanian,” ujarnya.
Para pemuda yng dikirim ke Jepang akan menjadi petani muda yng kompeten guna mengembangkan pertanian di Indonesia. Pendapat dari Supriyadi, yang dengannya penyuluhan serta pelatihan akan membuat petani lebih mempunyai kualitas serta berkompeten. "Bagi atau bisa juga dikatakan untuk mengganti tenaga petani itu, kami rubah yang dengannya petani berdasi," tuturnya.
Kemendag pun berjanji akan memproteksi produk pertanian lokal dari produk pertanian impor. Di antaranya yang dengannya menetapkan harga rujukan bagi atau bisa juga dikatakan untuk produk hortikultura. "Pengendalian impor melalui penetapan harga rujukan produk hortikultura," kata Menteri Perdagangan,
Produk hortikultura yng akan dikenai harga rujukan merupakan cabai merah besar/keriting sebesar Rp26.300 per kilogram, cabai rawit merah Rp28.000 per kg, serta bawang merah Rp25.700 per kg. Kalau harga di bawah harga rujukan, keran impor akan ditutup.
Sebaliknya, kalau harga bahan pangan itu di atas harga rujukan, produk pertanian impor akan dibuka bagi atau bisa juga dikatakan untuk menekan tingginya harga pangan. Pemerintah pun memberikan batas pintu masuk impor.
Tidak cuma itu, pemerintah pun akan menerapkan bea masuk produk impor pertanian rata-rata 5 %. Tarif tertingginya berkisar 10-15 %. Kemendag mengakui, ada produk pertanian yng sebetulnya diproduksi di dalam negeri, diimpor pemerintah, misalnya beras, jagung, serta cabai. Tujuannya, guna memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Sementara itu, SPI menagih Presiden Joko Widodo memenuhi janjinya melaksanakan reforma agraria serta menyelesaikan konflik pertanahan. Pendapat dari Henry, Jokowi berjanji akan mendistribusikan tanah 9,6 juta hektare bagi atau bisa juga dikatakan untuk 4,5 juta kepala keluarga petani. Itu Perlu di lakukan bagi atau bisa juga dikatakan untuk membangun kedaulatan pangan.
Selain ketersediaan lahan, SPI pun mendesak agar Jokowi menyediakan pupuk serta mendirikan bank petani. SPI pun meminta ada pembatasan impor pangan. Pemerintah tidak boleh impor selagi komoditas itu mampu diproduksi di Indonesia.
“Jika reforma agraria dijalankan, tanah diberikan kepada petani, bank petani dibangun, penyediaan benih, pupuk, pasar rakyat dikembangkan dan pembatasan terhadap impor pangan dijalankan, kita yakin pertanian akan menjadi daya tarik,” ujarnya.
Sementara itu, KRKP meminta agar pemerintah menjadikan pertanian lebih menguntungkan. Bagi atau bisa juga dikatakan untuk itu, pemerintah Perlu memberikan batas konversi lahan serta memprioritaskan lahan subur bagi atau bisa juga dikatakan untuk pertanian.
Selain itu, Perlu ada insentif bagi petani. Pemerintah Perlu memastikan orang yng akan menjadi petani mempunyai lahan. Lantaran, sebetulnya tidak sedikit yng ingin menjadi petani, akan tetapi tidak mempunyai lahan. Selain itu, pemerintah Perlu memberikan dukungan teknologi yng ramah bagi atau bisa juga dikatakan untuk anak muda.
Hari beranjak siang. Jam di tangan telah menunjukan angka 12.00. Ansori pun kembali turun ke ladang, melanjutkan pekerjaan panen jagung milik orang. Ia cuma berharap, lahan sepetak miliknya tidak tergadaikan bagi atau bisa juga dikatakan untuk memenuhi tuntutan perut. Meski dia tak tahu hingga kapan mampu bertahan, mengolah sawah warisan orang tuanya.
Anak sulungnya tidak mau berkeringat, berpeluh, serta bergumul lumpur lantaran mencangkul di sawah. Harapannya cuma bertumpu pada anak bungsunya yng masih berumur enam tahun. Meski dia tidak ingin memaksakan anaknya mengikuti jejaknya.
“Ya terserah mau jadi apa, tapi kalau dilihat anaknya serabutan sepertinya bisa jadi tani. Daripada jadi buruh lain, sama-sama serabutan lebih baik jadi tani,” ujarnya. (art)
Sumber : http://sorot.news.viva.co.id/news/read/556006-krisis-petani-di-negeri-agraris Sponsored Links loading... Loading... .
Source Articles & Image : petanitop.blogspot.com
Seputar Petani Kita ini Pintar dan Kreatif Hanya Butuh Dukungan Untuk Maju
Terima kasih telah membaca Petani Kita ini Pintar dan Kreatif Hanya Butuh Dukungan Untuk Maju. Semoga pos dari situs web Cara Menanam berguna dan memberi manfaat. Baik untuk anda dan buat website Cara Menanam. Silakan berbagi ulasan Petani Kita ini Pintar dan Kreatif Hanya Butuh Dukungan Untuk Maju tadi ke situs web media anda. Bagikan artikel dari Cara Menanam melalui media sosial yang ada di bawah. Dan kunjungi Daftar Isi Blog Cara Menanam untuk mendapat info lengkap terbaru 2017. Lalu baca pembahasan selain dari : Petani Kita ini Pintar dan Kreatif Hanya Butuh Dukungan Untuk Maju yang lebih terupdate lengkap dan free. Atau simak artikel gratis terkait dari situs web Cara Menanam di bawah. Demikan dan sekian tentang Petani Kita ini Pintar dan Kreatif Hanya Butuh Dukungan Untuk Maju. Dan Assalamualaikum pembaca Cara Menanam.
Advertisement