Belajarlah Ikhlas dari Seorang Petani Maka Akan Damai Hidupmu

- Maret 17, 2017

Belajarlah Ikhlas dari Seorang Petani Maka Akan Damai Hidupmu

 
. . Ahad pagi kemarin aku jalan-jalan pagi bersama kedua orang tuaku. Mudah-mudahan badan sehat, hati pun sehat. Refreshing pun sih, selama ini jadwal padet hingga tidak lebih waktu bagi atau bisa juga dikatakan untuk diri sendiri, tidak lebih waktu bagi atau bisa juga dikatakan untuk mendekat pada kekasihku. Jadinya kena futur nich. Mudah-mudahan dgn jalan-jalan, refreshing, liat dunia luar, jadi lebih dekat lagi yang dengannya yng tercinta serta penyakit futurnya segera hilang:-) Berjalan sekitar 1 km ke arah utara, pas sekitar sawah-sawah, bapak ngajak bagi atau bisa juga dikatakan untuk masuk, lihat sawah. Ok deh, lama pun gak maen ke sawah. Yang terakhir mungkin sekitar 5 tahun lalu disaat masih ngerjain skripsi, maen ke sawah pakdhe dekat rumah mbah. Masuk area sawah masih cukup sepi. Rumput di sepanjang pematang yng kami lewati masih basah oleh embun serta sisa hujan kemarin. Tanahnya pun basah atau juga ‘jeblok’. Lewat empat petak sawah, kami bertemu yang dengannya beberapa petani yng sedang memanen padi. ‘derep’ istilahnya. Padi telah dipotong hari sebelumnya, akan tetapi dirontokin bulir padinya hari itu. Kulihat sawah yng hendak dipanen ibu-ibu tadi dari kejauhan. Orang-orang telah mulai. Cara orang-orang masih tradisional, belum mempergunakan mesin perontok padi. Orang-orang yang dengannya semangat ‘nggebuk’(memukul) padi, batang-batang padi orang-orang pukulkan ke sebuah papan agar rontok bulir-bulir padinya. Melihat kerja keras orang-orang, aku cuma tersenyum, bahagia. Maju sekitar tiga petak ke depan, kami menjumpai seorang kakek yang dengannya cucu-cucunya di areal tanaman padinya yng belum tua. Orang-orang sedang ‘ngesat’ atau juga mengeringkan. Air yng ada di areal sawah dialirkan keluar menjadikan sawah tak lagi semisal kolam, tinggal tanaman padi. Proses ini di lakukan era padi mulai berisi, begitu kalo tak salah penjelasan bapak. Si kakek tadi mengajak cucu-cucunya, lantaran di sawah itu dia memelihara ikan. Era ‘ngesat’ semisal ini, ikan-ikannya diambil. Orang-orang belepotan lumpur, menangkapi ikan di sawah. Gokil, kayaknya asyik banget J (klo gak lagi bareng bapak ibu, pasti pengin ikut. Hehehe… :-P) Beberapa petak di depannya, lantas kami belok kiri, ke arah sawah kakek. Yng bagian bawah sedang ditanami padi oleh budheku, yng atasnya baru disiapkan bagi atau bisa juga dikatakan untuk tanaman cabe oleh kerabat yng lain. Kami berjalan ke pojok, hingga daerah ‘uritan’. Disebut bergitu mungkin lantaran bentuknya yng kecil memanjang di antara dua sirkulasi ‘kalen’ (semacam kali ataupun selokan kecil bagi atau bisa juga dikatakan untuk pengairan) semisal buritan kapal. Sepanjang perjalanan kami, bapak ibuku yng memanglah berlatar belakang petani, bercerita tidak sedikit hal, wacana masa kecil orang-orang di lahan pertanian, wacana masa tanam padi, bagaimana dulu ikut jadi buruh era memanen padi bagi atau bisa juga dikatakan untuk membantu orang tua, bagaimana orang-orang Amat menghargai sebulir nasi (lantaran orang-orang tak selalu mampu makan nasi beras, ada kalanya cukup nasi jagung ataupun aapa seadanya). Tidak sedikit hal, tidak sedikit cerita yng kudapat. Puas dari sana, kami kembali menyusuri pematang yng tadi. Di tempat kakek tadi, cucunya sedang beristirahat, si kakek pun saling menyapa serta bercerita yang dengannya bapak. Dia bercerita padinya yng tidak lebih berisi atau juga ‘gabuk’. Yang dengannya senyum di wajahnya dia mengatakan, “Nggeh, sakdermo nampi. Pun diatur Sing Kuwaos. Sing penting pun setiyar (maksudnya ikhtiar-pen), nggeh to?” (Ya, sekedar nerima. Telah diatur oleh Yng Kuasa. Yng penting telah ikhtiar, ya kan?” Subhanallah… beliau mengatakan tak sedang mengeluh, lihatlah senyumnya yng mengembang, bahagia rasanya melihatnya, sebuah ekspresi rasa tulus. Subhanallah…. Sepanjang perjalanan pulang aku cuma merenung. Aku, pun mungkin tidak sedikit orang yng berprofesi menjdai karyawan, di mana mendapatkan penghasilan rutin setiap bulan yang dengannya nominal tetap, Suka tidak ingat bahwasanya rezeki telah diatur oleh Allah, tidak banyak tidak sedikit, itu merupakan karunia dari Allah, atas kebaikan Allah, bukan lantaran kerja keras kita yng mungkin sebetulnya belum keras bekerja. Semisal hujan yng turun dari langit, semisal pohon serta tumbuhan yng ditumbuhkan Allah, semisal bunga yng menjadi buah, lantas makin besar, berganti warna serta rasa menjadi sesuatu yng lezat bagi atau bisa juga dikatakan untuk kita nikmati. Seharusnya aku belajar dari petani, sukses ataupun tak tanamannya di sawah, diterima yang dengannya senang hati menjdai karunia. Tak ada keluhan, tak ada berharap terlalu tinggi. Astaghfirullahal ‘adhiim…ampuni kami yng tidak pandai bersyukur, ampuni kami yng kadang masih terbersit rasa sombong di hati, ampuni kami yng Suka tidak ingat akan kebesaran serta nikmatMu yng takterhingga. Ini mungkin salah tarbiyah yng Allah berikan padaku yng Suka tidak lebih bersyukur, yng tidak lebih tulus dalam segala hal, jadi terkesan munafik. Ah, terima beri ya Allah, Engkau sudah mengingatkanku. Sumber : https://ryu1nayumi.wordpress.com/2013/03/18/belajar-ikhlas-dari-petani/ Sponsored Links loading... Loading... .

Source Articles & Image : petanitop.blogspot.com

Seputar Belajarlah Ikhlas dari Seorang Petani Maka Akan Damai Hidupmu

Advertisement
 

Cari Artikel Selain Belajarlah Ikhlas dari Seorang Petani Maka Akan Damai Hidupmu