Jangan Malu Menjadi Petani, Tapi Malulah Ketika Kita Hanya Berpangku Tangan (Share Ya Jika Setuju)

- Januari 29, 2017

Jangan Malu Menjadi Petani, Tapi Malulah Ketika Kita Hanya Berpangku Tangan (Share Ya Jika Setuju)

 
. . Memanglah lingkungan akan membawa pengaruh paling kuat, terhadap pilihan seseorang. Kemarin sambil menunggu bulik operasi, di rumah sakit Bethesda pernah sempet tanya :”Mengapa kok milih profesi ini dok ? “, “MemangAyahnya juga Dokter ya ?” tanyaku. Serta rata-rata para dokter akan melahirkan anak yng berprofesi dokter juga. Ini pun berlaku bagi atau bisa juga dikatakan untuk bagi atau bisa juga dikatakan untuk artis, orang tuanya artis, keseringan anaknya akan menjadi artis. Orang tuanya pengusaha keseringan anaknya pun pengusaha.

Cuma yng menjadi agak miris, jarang sekali seorang petani yng ngadhang-gadhang anaknya jadi petani.Bahkan yng Suka terlaksana Bapaknya petani anaknya jadi karyawan. Jarang yng bapaknya petani anaknya pun petani namun yang dengannya system pertanian yng lebih maju tentunya.
Daerah kami masih tidak sedikit sawah, maklum rumah saya didesa, kalau berangkat kerja masih Suka melihat pemandangan para petani yng mencangkul sawah, kadang jam setengah lima pagi, disaat jalan-jalan pagi, kami berpapasan yang dengannya orang-orang yng sedangmenuju sawah. Waktu kecil saya Suka didongengi bahwasanya ke hidup-an pak tani itu mulyo, sugih rojobrono, namun kenyataannya, saat ini ini, ke hidup-an orang-orang soro.
Bagi atau bisa juga dikatakan untuk mencapai ke hidup-an mulya, para petani itu Perlu memiliki minimal dua hektar sawah bagi atau bisa juga dikatakan untuk diolah. Jaman saat ini sawah seluas dua hektar, belinya pakai uang gambar gareng apa…, lantaran rata-rata, petani era ini cuma mempunyai sawah seluas seribu meter saja.
Berkaca dari keluarga dijogja, yng lantas saya coba generalkan, bahwasanya kebanykan orang jogja, meskipun hidupnya kekurangan, namun orang tuanya berusaha bagi atau bisa juga dikatakan untuk menyekolahkan anaknya setinggi serta semampu mungkin. Orang-orang sadar bahwasanya pendidikan merupakan asset, disaat pola pikir dirubah nasibpun akan berganti. “Aku ora menehi opo-opo yo le. Aku mung iso nyekolahke, aku mung iso minterke kowe…” begitu kata yng pernah dicapkan oleh nenekku, semasa hidupnya. Harapan para orang tua, sesudah lulus anaknya diterima kerja dalam perusahaan yng besar, bekerja yang dengannya rapi serta bersih, bekerja dikantoran lebih bergengsi daripada bekerja di rumah, yng glumutan serta bersentuhan yang dengannya blethokan lumpur sawah.
Anak-anaknya diarahkan bagi atau bisa juga dikatakan untuk jad ikaryawan, jadinya para orang tua yng berprofesi petani itu, tidak ingat mewariskan ilmu pertaniannya serta bercerita serunya pekerjaan orang-orang yng luhur kepada generasi keduannya. Beberapa hari yang terakhir heboh wacana harga beras yng melonjak, konon katanya harganya setara yang dengannya13 ribu, undha-undhi yang dengannya nilai satu dolar AS , kurs era ini. Secara pribadi, saya senang-senang sedih, senangnya, muncul harapan baru, yang dengannya harga beras yng baru ini ke hidup-an petani mudah-mudahan menjadi lebih baik, kualitas padi pun menjadi tidak jelek alias bagus, swasembada pangan tercapai. Indonesia menjadi lumbung padi kembali. Sedihnya, menjdai karyawan, saya tak punya uang lebih, saya Perlu ngirit, saya Perlu membagikan yang dengannya kebutuhan kebutuhan lain-lainnya, Perlu pandai-pandai mengatur cash flow keluarga lantaran harga beras yng makin mencekik.
Telah lama tak pernah mendengar informasi, wacana penyaluran kridit bagi atau bisa juga dikatakan untuk petani oleh pemerintah. Era 80-an,ada istilah REPELITA, Rencana pembanguan lima tahun, sebuiah program andalan pemerintah waktu itu. Banyak sekali bentuk kridit serta kemudahan dana bagi para petani telah direncanakan oleh Negara, dana telah disiapkan tinggal mengelontorkan saja. Pun tak pernah mendengar, alasan kenapa pemerintah menghentikan kridit bagi para petani ini. Mungkin program Repelitanya telah tak sesuai yang dengannya pemerintahan baru, namun kridit serta serta pengembangan bagi para petani masih relevankan ? Bahkan yng terdengar santer merupakan, kridit ini telah diambil oleh para pengusaha, yang dengannya system yng kataanya modern, lebih gampang serta cepat. Siapa sih yng tak tergoda yang dengannya Kridit yng gampang serta cepat cair ini, salah satunya menarik hati para petani bagi atau bisa juga dikatakan untuk berpindah menjajal pinjaman ini.
Percis yang dengannya bank plecit, begitu bahasa jogja mengistilahkan, ataupun percis semisal renternir. Kridit yang dengannya sistim ini akan berdampak tidak baik dikemudian hari, yaitu bunga yng fantastis. Kadang para petani Perlu berususan yang dengannya pemberio kridit, lantaran tak mampu membayar bunganya lagi yng telah tak masuk akal. Memanglah uang yng dipijami seolah tak berbunga, namun diujung hari orang-orang mengorok leher para petani lugu ini. System ijon, yang dengannya pembelian hasil panen yang dengannya harga tengkulak menjdai imbalannya.
Dilematis, para petani butuh uang bagi atau bisa juga dikatakan untuk beli pupuk, namun hasil panennya Perlu dijual yang dengannya yang dengannya harga yng murahnya tak wajar. Dipasar harga beras melangit akan tetapi petani tetap hidup irit, yng untung siapa ? para pemodal yang telah di sebutkan, eh pemodal ataupun tengkulak sih sebetulnya? Namanya masyarakat heterogen, disaat beras dipasar harganya melejit, sebenarnya ada ceruk pasar lagi yng malahan ngedab-ngedabi, ceruk pasar yng luar biasa besar, belum tergarap rapi. Ceruk pasar ini, merupakan ceruk pasar bagi atau bisa juga dikatakan untuk beras organic. Seorang sahabat pernah bercerita, bahwasanya beras organik di jogja, perkilonya kisaran diatas 25 ribu….
Saya pernah sempet begitu gumun harga yng begitu tidak murah ini, namun tetap ada pasarnya, tetap ada pemainnnya. Orang-orang tak terpengaruh yang dengannya beras yng beredar dipasar umum, belum lagi beras yng telah mulai dikampayekan bagi atau bisa juga dikatakan untuk para penderita diabetes, yaitu beras merah, yng rata-rata perkilonyasudah dua puluh ribuan harganya. Bagi atau bisa juga dikatakan untuk kemasan lima kilogram rata-rata dijual kisaran seratus ribu.
Menurutku ini peluang bagi atau bisa juga dikatakan untuk bergeser ke tempat lebih baik bagi petani. Yang dengannya memadukan serta menerapkan pengetahuan serta aneka macam literature yng didapat dari bangku kuliah oleh generasi kedua ataupun anak petani ini. Semapt terbayang, kayaknya menarik, andai para petaninya berpendidikan strata satu itu mampu menerapkan ilmunya, kemungkinan-kemungkinan bagi atau bisa juga dikatakan untuk inovasi produk segera terlaksana. Pengolahan serta penegelolaan hasil tani akan lebih gampang dikelola serta dipasarkan. Misalnya merupakan penciptaan segmen pasar beras organic, beras bagi atau bisa juga dikatakan untuk kebugaran atau kesehatan. Harganya pun mampu beberapa kali lipat, prosesnya tak jauh berbeda, bukan ? Pasar lagi demam yang dengannya seluruh yng berbau organik, mulai beras oranik hingga sayur organik. Ini terkait yang dengannya kesadaran kebugaran atau kesehatan yng makin baik. Katanyaproses penanaman organik itu tanpa bahan kimia, jadi lebih sehat kalau dikonsumsi oleh tubuh. Namun menurutku seluruh organik belum tentu baik….. buktinya senapan organik itu malahan rawan.
Sumber : http://www.kompasiana.com/andung.yuliyanto/jangan-malu-jadi-petani_54f8b538a333118f178b473a Sponsored Links loading... Loading... .

Source Articles & Image : petanitop.blogspot.com

Seputar Jangan Malu Menjadi Petani, Tapi Malulah Ketika Kita Hanya Berpangku Tangan (Share Ya Jika Setuju)

Advertisement
 

Cari Artikel Selain Jangan Malu Menjadi Petani, Tapi Malulah Ketika Kita Hanya Berpangku Tangan (Share Ya Jika Setuju)