Sedih Pahlawan yang Terlupakan – Menjadi Pengemis Hingga Akhir Hidupnya

- Maret 14, 2017

Sedih Pahlawan yang Terlupakan – Menjadi Pengemis Hingga Akhir Hidupnya

 
. .
Negeri ini sudah mencapai maupun meraih kemerdekaannya 70 tahun silam. Akan tetapi, kemerdekaan itu tak dan merta didapatkan begitu saja. Perjuangan serta pengorbanan yng berupa nyawa, darah, keringat serta air mata sudah dicurahkan demi mencapai maupun meraih kemerdekaan yng hakiki. Akan tetapi, bagi atau bisa juga dikatakan untuk siapa sejatinya kemerdekaan yang telah di sebutkan? Seluruh itu bagi atau bisa juga dikatakan untuk kita seluruh, bangsa Indonesia.
Akan tetapi, kita yng hidup di jaman ini seakan menutup mata. Kita tidak lagi mengingat orang-orang yng sudah berjuang merebut kemerdekaan ini dari tangan para penjajah. Padahal tanpa orang-orang, kita tak mungkin mampu hidup semisal saat ini ini. Akan tetapi, tidak tidak banyak para pejuang yng hidup terlunta-lunta serta menderita di masa tuanya. Sementara, kita cuma sibuk yang dengannya urusan kita sendiri tanpa mempedulikan apa yng terlaksana pada orang-orang. Mana balas budi kita atas jasa yng sudah orang-orang lakukan bagi atau bisa juga dikatakan untuk kita serta negeri ini?
Mengingat jasa para pahlawan tidak cukup cuma yang dengannya merayakan hari kemerdekaan yang dengannya upacara bendera serta mengadakan aneka macam perlombaan. Namun, kita doakan orang-orang yng sudah gugur di medan perang serta kita topang kehidupannya bagi yng masih hidup. Jangan biarkan para pejuang yng masih hidup Perlu hidup menderita serta terlunta-lunta di masa tuanya. Hal ini dialami oleh satu dari sekian banyaknya pejuang kemerdekaan yng di masa tuanya hingga Perlu menjadi seorang pengemis bagi atau bisa juga dikatakan untuk membiayai hidupnya sendiri. Berikut kisah pahit getir kehidupannya.
Letnan Anwar, mantan pejuang yng menjadi seorang pengemis di masa tuanya

Anwar, Comandan Kompi 3 Sumatera Bagian Selatan, yang dengannya pangkat Letnan Satu.
Pemimpin yng mahir empat bahasa. Dia fasih berbicara bahasa Inggris, Jepang, Belanda serta tentu saja bahasa Indonesia. Namun, kerasnya hidup menyeret Anwar, ke lumbung kemiskinan. Sang letnan tiarap pada ke hidup-an.
“Tak perlu. Jangan disebut lagi masa lalu. Itu sudah habis. Jangan dikenang lagi,” tutur Anwar kala itu era dia masih hidup.
Anwar betul-betul keras. Sulit memintanya bicara tidak sedikit. “Saya sedang berusaha. Jangan diganggu. Ini belum makan, lihat itu, belum berisi,” ucap Anwar menunjuk ember biru yng ada di depannya. Ember itu sengaja disediakan, bagi atau bisa juga dikatakan untuk orang melempar uang menjdai wujud dari rasa iba terhadapnya. Seolah, perkataan Anwar sebuah isyarat : Kalau mau bicara, isi ember itu. Hampir setegah jam hirau, Anwar akhirnya menyerah. Dia mau bicara. Perihal hidupnya. “Tapi jangan diputarbalik apa yang saya katakan,” ucap Anwar yng pernah pun bekerja menjdai kelasi kapal berbendera Jerman Barat.
Tanah Kuranji merupakan tempat pertama yng menyambut kelahiran Anwar. Dia terlahir dari keluarga petani, 94 tahun lalu. Masa mudanya dihabiskan di pinggiran Kota Padang itu. Anwar merupakan jebolah Sekolah Sembilan (kini Belakang Tangsi-red) tahun 1930. Lepas Sekolah Rakyat, Anwar mulai bekerja serabutan. Akhirnya dia diterima menjdai kelasi kapal. Tahun 1932 hingga 1939 Anwar berlayar. Dalam kurun waktu itu tidak tidak banyak keragaman budaya yng dilihat pak tua. “Saya lulus sekolah Belakang Tangsi 1930. Selanjutnya berlayar tujuh tahun mengelilingi Asia sampai ke Australia. Kemudian pulang untuk berjuang. Saya tak mau bersenang-senang di atas kapal, sementara Bangsa kita sedang berjuang merebut kemerdekaan. Naluri kebangsaanlah yang memanggil jiwa untuk ikut berjuang,” terang Anwar.
Anwar muda telah terbiasa berperang. Dia hidup bagi atau bisa juga dikatakan untuk berpetualang. Melintasi medan. Bergerilya. Menunggu era yng tepat menyerang tentara Belanda. “Saya bekas tentara Sumatera Selatan. Komandan Kompi 3. Tak terkira derita. Masa pergerakan benar-benar sulit. Desing peluru, bau mesiu, mayat dan simbahan darah hal biasa. Pelepas penat dan kebanggaan kala itu, sewaktu pulang ke barak, kita membawa topi serdadu, atau barang rampasan perang lainnya,” ulas Anwar.
Lubang kecil bekas hantaman peluru yng menghiasi kaki kananya, menjadi bukti keikutsertaan Anwar berjuang bagi atau bisa juga dikatakan untuk bangsa. Lantaran tembakan itu, kini dia berjalan pincang. “Kaki ini ditembus peluru di Jalan Jakarta (Simpang Presiden-red). Waktu itu hari masih pagi. Perjanjian Linggarjati baru saja disepakati. Tapi Aziz Chan menentang perjanjian itu. Belanda marah dan mengamuk. Menyerang membabi buta di tengah Kota. Hasilnya, ya kaki ini kena tembak waktu mau pulang ke barak,” terang Anwar.
Bukan cuma ditembak. Anwar pernah terasa pengap hidup di balik jeruji besi. “Empat tahun saya dibui. Tertangkap waktu bergerilya, dari Padang yang dengannya tujuan Payokumbuah yng waktu itu, tahun 1946 sedang bergejolak. Kala melewati Padangpanjang saya tertangkap Belanda. Waktu itu, peluru habis sementara kaki saya masih sakit. Saya digiring, kaki dirantai, diberi golongan besi, “ungkap Anwar berupaya merunut kembali petualangan masa lalunya.
Di Panjangpanjang, Anwar diperlakukan tidak senonoh oleh Belanda. Hantaman bokong senjata, sayatan belati hingga dipaksa minum air kencing. Akan tetapi sang Letnan tetap tegar. Kepalanya tegak, walau kucuran darah dari pelipisnya tidak berhenti. “Penjara dulu, bukan semisal saat ini. Dulu, tangan diikat kawat berduri, kaki dirantai golongan besi. Saban hari kena pukul. Malah, Bagi atau bisa juga dikatakan untuk minum, orang-orang memberikan air putih yng dicampur kencing,” celoteh Anwar.
Jangan pertanyakan nsionalisme pada Anwar. Kecintaannya pada Indonesia tidak pernah surut. Terus berkobar. “Saya pernah ditanya tentara Belanda. Apakah saya berjuang dan jadi tentara karena hanya kedudukan dan jabatan semata? Saya jawab apa adanya? Berjuang untuk negara, bukan kedudukan. Bila kelak mati di sini. Saya bangga, karena itu demi negara,” ucap Anwar.
Anwar berjuang terus. Hingga dia sendiri tidak ingat akan keluarganya. Anwar pernah menikah yang dengannya seorang wanita Belakang Olo. Namun cuma sebentar Anwar mengecap indah keluarga. Istrinya mati lantaran kolera serta kekurangan asupan gizi, ikut pun tiada anak yng dikandungnya. Anwar baru tahu istrinya tiada empat bulan lantas, tepatnya era dia pulang bergerilya.
Lepas dari itu, Indonesia akhirnya merdeka yang dengannya penuh. Akan tetapi tidak begitu bagi Anwar. Tidak ada penghargaan yng diterimanya. Pengorbanan serta perjuangannya yng dikibarkannya seakan tidak di ingat-ingat lagi. Anwar hilang di tengah gegap gempita kemerdekaan. Ditambah kematian istri, seolah pembawa petaka. Anwar kehilangan semangat hidup. Pernah sempet terjerumus ke dunia hitam. Anwar tobat. Namun, hidup memanglah tidak pernah berpihak pada Anwar. Makin terlunta-lunta. Sampai-sampai jalan menjdai pengemis jadi pilihan terakhirnya.
Tidak ada tanda jasa. Tidak ada lencana penghormatan yng diterima Anwar. Malah gelar pahlawan veteran pun tidak singgah. “Saya tak butuh apapun. Dulu, saya berjuang bukan untuk mendapatkan tanda jasa. Saya berjuang untuk negara. Tak perlu tanda jasa apalagi uang. Biarlah hidup begini, asal tak menganggu orang lain. Saya rela. Memang, ada kawan yang ikut mengangkat senjata kebanyakan tenang menjalani masa tuanya. Saya tak suka itu, bagi saya berjuang bukan untuk kemapanan masa tua,” jawab Anwar. Dia segera berdiri, pergi meminta segelas air kepada pedagang di depan Masjid AL Mubarah, Sawahan.
Memanglah, dulu Anwar pernah diberi sertifikat veteran. Akan tetapi lantaran jalan hidupnya yng Suka beralih tempat “surat sakti” itu raib entah kemana. Padahal, surat itu merupakan menjdai landasan Anwar bagi atau bisa juga dikatakan untuk mendapatkan haknya menjdai veteran. “Kalau tak salah Surat Bintang Gerilya. Tapi surat itu sudah hilang. Kata orang surat itu adalah syarat untuk menerima tunjangan dari pemerintah. Tapi tak apalah, saya juga tak perlu itu. Kan sudah saya katakan kalau saya berjuang bukan untuk uang apalagi jabatan. Walaupun meminta-minta tapi saya tak menyusahkan orang lain. Saya sudah pernah hidup senang di atas kapal. Sekarang saatnya susah,” kata Anwar.
Letnan Anwar. Sang pahlawan kini sudah tiada di masa pembangunan. Dia tidak mendapatkan apa-apa dari perjuangan. Sebatas penghormatan pun tak. Anwar tidak teringat lagi. Bangsa ini benar-benar telah berdosa padanya.
Pahlawan yng Tidak teringat lagi, Menjadi Pengemis Sampai-sampai Akhir Hidupnya

Tidak cuma Letnan Anwar saja yng masih Perlu mengalami pahitnya ke hidup-an di masa tuanya. Masih tidak sedikit lagi para pejuang yng tidak teringat lagi sampai-sampai Perlu hidup sengsara di masa tuanya. Masa di mana seharusnya orang-orang mampu hidup tenang merasakan manisnya buah perjuangan orang-orang era masih muda, akan tetapi yng orang-orang bisa cuma rasa bangga atas perjuangan orang-orang yng menjadikan negeri ini menjadi negeri yng merdeka. Orang-orang cuma mampu melihat generasi penerus orang-orang hidup bahagia serta merasakan hidup merdeka di tanah ini meski orang-orang sendiri masih Perlu berjuang demi hidupnya sendiri tanpa ada yng peduli pada nasib orang-orang.
Mudah-mudahan surga balasan bagi para pahlawan-pahlawan yng kini sudah gugur. Terima beri pahlawanku. Tanpa jasa-jasamu kami tak akan mampu hidup semisal saat ini ini. Maafkan kami yng sudah berdosa lantaran tidak mempedulikanmu semasa hidupmu malah meremehkanmu di era ragamu tidak lagi muda serta gagah. Mudah-mudahan upayamu memerdekakan negeri ini tidak akan pernah percuma. Kami tidak sedikit berhutang budi padamu.
Sumber : http://www.wajibbaca.com/2015/08/pahlawan-yang-terlupakan-menjadi.html# Sponsored Links loading... Loading... .

Source Articles & Image : petanitop.blogspot.com

Seputar Sedih Pahlawan yang Terlupakan – Menjadi Pengemis Hingga Akhir Hidupnya

Advertisement
 

Cari Artikel Selain Sedih Pahlawan yang Terlupakan – Menjadi Pengemis Hingga Akhir Hidupnya